Senin, 21 Juni 2010

Hukum Memberi Uang Suap

HUKUM MEMBERI UANG SUAP AGAR MEMPEROLEH PEKERJAAN DAN SEJENISNYA

Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya :

Bagaimana hukum syrai’at tentang orang yang memberi uang dengan terpaksa agar bisa memperoleh pekerjaan atau bisa mendaftarkan anaknya di suatu perguruan tinggi atau hal-hal lain yang sulit diperoleh tanpa memberikan uang kepada petugas yang berwenang. Apakah orang yang memberi uang itu berdosa dalam kondisi seperti demikian ? Berilah kami fatwa, semoga anda mendapat pahala.


Jawaban.

Tidak boleh memberi uang untuk memperoleh pekerjaan atau untuk bisa belajar di suatu perguruan tinggi atau fakultas tertentu, karena lembaga-lembaga pendidikan dan lowongan-lowongan pekerjaan itu terbuka bagi siapa saja yang berminat atau diprioritaskan bagi yang lebih dulu mendaftar atau yang lebih professional, maka tidak boleh dikhususkan bagi yang memberi uang atau bagi yang mempunyai hubungan dekat.

Memberikan uang seperti itu disebut menyogok, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat orang yang menyogok dan yang disogok, karena uang/pemberian itu akan mempengaruhi kinerja para petugas yang memegang tugas-tugas tersebut atau lembaga-lembaga pendidikan tersebut sehingga mereka tidak obyektif dan tidak selektif, mereka hanya menerima orang yang mau memberi uang sejumlah yang diminta.

Seharusnya mereka bekerja sesuai dengan peraturan dan tata tertib yang telah ditetapkan oleh atasan-atasan mereka, seperti ; mengutamakan orang-orang yang potensial dan para professional, mengutamakan yang lebih dulu mendaftar atau menentukan dengan di undi jika kualifikasinya sama. Dengan demikian setiap muslim akan rela dengan keputusan yang ditetapkan dan tidak ada paksaan untuk menyerahkan sejumlah uang untuk memperoleh pekerjaan-pekerjaan tersebut. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan memberikan jalan keluar baginya dan mengaruniainya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.

Wallahu A’lam.

[Diucapkan dan didiktekan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min
Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal
554-555 Darul Haq]
_____________________________________________________

Hukum Suap Menyuap (ar-Risywah)

Kegiatan suap-menyuap kendati telah diketahui keharamannya namun tetap saja gencar dilakukan orang-orang, entah itu untuk meraih pekerjaan, pemenangan hukum hingga untuk memasukan anak ke lembaga pendidikan-pun tak lepas dari praktik suap-menyuap. Untuk memasukkan anak ke sekolah yang bonafit, tidak cukup hanya bermodal nilai UN yang tinggi tapi dibutuhkan juga uang yang banyak untuk menyumpal mulut para panitia. Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Dan yang lebih menyedihkan lagi, mereka yang melakukannya adalah orang-orang yang mengaku muslim, padahal jelas-jelas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan bagi seorang muslim sangat mengecam keras para pelaku suap-menyuap itu.

Islam sebagai agama yang sempurna (syamil) sangat mengharamkan praktik suap-menyuap bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutuk (melaknat) para pelaku hingga penghubung suap-menyuap sebagaimana hadits tersebut.

Suap-menyuap dalam Islam disebut juga ar-Risywah (الرِّشْوة), Ibnu Atsir dalam an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar mendefiniskan; ar-Risywah adalah usaha memenuhi hajat (kepentingannya) dengan membujuk. Kata ar-Risywah sendiri berasal dari الرِشاء yang berarti Tali yang menyampaikan timba ke air.

Jadi, ar-Risywah adalah pemberian apa saja (berupa uang atau yang lain) kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil.

Dengan cara bathil inilah sebuah ketentuan berubah, sehingga menyakiti banyak orang dan wajarlah jika Rasulullah mengutuk/melaknat para pelaku suap-menyuap.

Dalil al-Quran tentang Keharamannya

Allah Ta’ala berfirman;

ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل

“Dan janganlah kalian memakan harta-harta diantara kalian dengan cara yang bathil” [QS. Al-Baqarah: 188]

Imam al Qurthubi mengatakan, ”Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz II hal 711)

Diakui atau tidak, praktik suap-menyuap merupakan cara-cara bathil memakan harta kaum muslimin.

Allah Ta’ala juga berfirman;

من قتل نفساً بغير نفسٍ أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعاً

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” [QS. al-Maidah: 32]

Praktik suap-menyuap jika kita pahami lebih mendalam akan dampak negatifnya, sebenarnya merupakan pembunuhan terhadap kesempatan orang lain dan artinya ia telah membunuh seluruh manusia. Karenanya pantas jika ayat tersebut diatas diarahkan kepada para pelaku suap-menyuap yang telah curang dalam suatu urusan sehingga menyebabkan orang lain kehilangan jiwanya dan kehilangan kesempatannya.

Dan firman-Nya;

يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم واشكروا الله إن كنتم إياه تعبدون

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” [QS. al-Baqarah: 172]

Ayat tersebut merupakan dalil umum yang memerintahkan orang-orang yang mengaku beriman untuk mencari rezki yang halal dengan cara-cara yang halal, bukan malah sebaliknya mencari yang halal dengan cara yang haram atau mencari haram dengan cara yang haram pula. Dan suap-menyuap -tidak diragukan lagi- adalah cara yang bathil dalam mencari rezki sehingga praktik tersebut diharamkan oleh Allah Ta’ala.

Dalil as-Sunnah tentang Keharamannya

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata;

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap.” [HR. Abu Daud no. hadits 3580]

Juga hadits;

وعن ثوبان رضي الله عنه قال لعن رسول الله الراشي والمرتشي والرائش: يعني الذي يمشي بينهما

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat/mengutuk orang yang menyuap, yang menerima suap dan orang yang menghubungkan keduanya.” [HR. Ahmad dalam bab Musnad Anshar radhiyallahu ‘anhum]

Sementara dalam Sunan at-Tirmidzi,

Dari Abu Hurairah, ia berkata;

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي في الحكم

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam masalah hukum”. [HR. at-Tirmidzi no hadits 1351]

Setelah mengetahui dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah yang menegaskan tentang keharaman praktik suap-menyuap (ar-Risywah) maka sudah dapat dipastikan bahwa pelaku, penerima dan orang-orang yang terlibat dalam praktik suap tersebut tidak akan mendapatkan keuntungan melainkan kecelakaan yang akan Allah berikan kepadanya, jika tidak di dunia tapi pasti di akhirat.

Akan tetapi, setelah jelasnya hukum akan perkara ini, masih saja ada orang-orang yang coba memalingkan dan mengkaburkan hukum keharaman suap-menyuap ini dengan berdalih bahwa yang diberikannya itu adalah hadiah atas bantuannya, atau uang lelah, dan ungkapan lainnya.

Dengan alasan-alasan seperti itu juga telah terbantahkan oleh hadits yang banyak yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya;

ومن شفع لأخيه شفاعة فأهدى له هدية فقد أتى باباً عظيماً من الربا

“Siapa saja yang menolong saudaranya kemudian dia dihadiahkan sesuatu maka ia telah masuk ke dalam pintu besar dari Riba.” [HR. Ahmad dalam Musnadnya]

Tidak cukup dengan hadits tersebut, bahkan penyusun kitab Shahih Bukhari, Abu Ismail al-Bukhari membuat bab khusus باب من لم يقبل الهدية لعلة (Bab Siapa saja yang tidak menerima hadiah karena pekerjaan). Dalam bab tersebut, Imam Bukhari menukil perkataan ‘Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu;

كانت الهدية في زمن رسول الله هدية، واليوم رشوة

“Pada zaman Rasulullah pemberian itu dinamakan Hadiah, maka zaman sekarang ini dinamakan risywah (suap)”. [Shahih Bukhari]

Suap-menyuap bukanlah hal baru dalam Islam, karenanya banyak hadits dan atsar para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mencela bahkan mengutuk praktik suap-menyuap tersebut. Bahkan para ulama juga memberikan perhatian yang besar terhadap permasalahan ini, diantaranya adalah Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughniy, ia berkata;

فأما الرشوة في الحكم ورشوة العامل فحرام بلا خلاف

“Adapun suap-menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram –tidak ada perbedaan pendapat para ulama-.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama telah mengatakan, ”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali amri—orang yang diberikan tanggung jawab atas suatu urusan—untuk melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan, ini adalah haram, baik bagi yang memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini adalah suap yang dilarang Nabi saw.” [Majmu’ Fatawa juz XXXI hal 161]

Asy-Syaukani dalam Nailul Authar berkata;

قال الشوكاني في نيل الأوطار: قال ابن رسلان في شرح السنن: ويدخل في إطلاق الرشوة الرشوة للحاكم والعامل على أخذ الصدقات، وهي حرام بالإجماع

“Ibnu Ruslan berkata dalam Syarhus Sunan, “Termasuk kemutlaqan suap-menyuap bagi seorang hakim dan para pekerja yang mengambil shadaqah, itu menerangkan keharamannya sesuai Ijma’.

ash-Shan’aniy dalam Subulussalam (2/24)

والرشوة حرام بالإجماع سواء كانت للقاضي أو للعامل على الصدقة أو لغيرهما، وقد قال الله تعالى: ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقاً من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون

“Dan suap-menyuap itu haram sesuai Ijma’, baik bagi seorang qadhi/hakim, bagi para pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. [QS. Al-Baqarah: 188].”

Kesimpulan

Sebagai seorang muslim yang mengaku tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum Allah dan Rasulullah maka sepatutnyalah kita membenci praktik suap-menyuap (ar-Risywah) yang telah meracuni pikiran kaum muslimin sehingga mereka tidak lagi percaya kepada qadha dan qadar dari Allah, dengan akhirnya mereka menempuh jalan pintas untuk kemudian memutarbalikkan kebenaran, merubah yang bathil menjadi haq. Tidak hanya itu, laknat dari Rasulullah seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi orang-orang yang akan dan membudayakan praktik suap-menyuap tersebut.

وأتبعناهم في هذه الدنيا لعنة ويوم القيامة هم من المقبوحين

“Dan Kami ikutkanlah laknat kepada mereka di dunia ini; dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah).” [QS. Al-Qashash: 42]

Demikianlah jika Allah dan Rasul-Nya telah melaknat seseorang maka laknat itu akan melekat pada dirinya di dunia hingga akhirat. Na’udzubillahi min dzalik. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang kembali kepada jalan yang benar.

Anwar Baru Belajar