Menurut keterangan yang paling shahih, bahwa hukum aqiqah itu hanyalah sunnah. Maka apabila dapat mengikuti ketentuan sunnah itu adalah lebih baik.
Namun andaikata terpaksa, dan tidak dapat melaksanakannya karena tidak ada kelapangan rezeki dan lainnya, maka tidak ada dosa atau tuntutan apapun atasnya. Tidak boleh memaksakan diri dalam hal agama apabila tidak ada kemampuan. Selain itu yang harus diperhatikan adalah caranya, waktunya dan niatnya, apakah sudah sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu 'Alaihi Wa sallam.
Dalil melakukan aqiqah adalah sunnah, berdasarkan hadits berikut:
Namun andaikata terpaksa, dan tidak dapat melaksanakannya karena tidak ada kelapangan rezeki dan lainnya, maka tidak ada dosa atau tuntutan apapun atasnya. Tidak boleh memaksakan diri dalam hal agama apabila tidak ada kemampuan. Selain itu yang harus diperhatikan adalah caranya, waktunya dan niatnya, apakah sudah sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu 'Alaihi Wa sallam.
Dalil melakukan aqiqah adalah sunnah, berdasarkan hadits berikut:
Telah berkata 'Amr ibnu al Ash bahwa nabi pernah bersabda :"Barangsiapa suka akan mengaqiqahkan anaknya, maka kerjakanlah." (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa'i dan Mundziri)
Adapun sunnahnya aqiqah adalah pada hari ke tujuh dari hari lahir anak tersebut, berdasarkan riwayat ini:
Telah berkata 'Aisyah : Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam itu pernah mengaqiqahkan untuk Hasan dan Husin pada hari ke tujuhnya…(HR. Ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqi)
وَعَنْ سَمُرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَيُحْلَقُ, وَيُسَمَّى ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيّ
Telah berkata Samurah : Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda : "Tiap-tiap anak itu tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih untuk dia pada hari ketujuhnya, dan dihari itu ia diberi nama dan dicukur rambut kepalanya." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim)
Dengan keterangan dua hadits di atas tersebut, nyatalah bahwa menurut sunnah nabi, aqiqah itu pada hari ke tujuhnya. Dan jika aqiqah itu dilakukan pada sebelum hari ke tujuhnya atau pada hari sesudahnya, apalagi setelah bertahun-tahun sesudahnya, maka itu tidak secara sunnah.
Adapun hadits berikut di bawah ini :
Telah berkata Abu Buraidah : Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda :
Adapun hadits berikut di bawah ini :
Telah berkata Abu Buraidah : Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda :
"Aqiqah itu disembelih pada hari ke tujuhnya, atau ke empat belasnya, atau ke dua puluh satunya. (HR. Baihaqi dan Thabrani)
Telah berkata Anas : Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam itu pernah mengaqiqahkan untuk dirinya setelah menjadi Rasul. (HR. Baihaqi, Bazzar, Muhammad bin Abdul Malik bin Aiman, Thabrani dan Khallal)
Kedua hadits ini seringkali dibuat dalil oleh sebagian ulama atas sunnahnya aqiqah pada selain hari ke tujuhnya.
Marilah kita teliti hadits-hadits tersebut;
Telah berkata Abu Buraidah : Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda : "Aqiqah itu disembelih pada hari ke tujuhnya, atau ke empat belasnya, atau ke dua puluh satunya. (HR. Baihaqi dan Thabrani). Dalam isnad hadits ini terdapat seorang yang bernama ISMAIL BIN MUSLIM, sedang dia itu telah dilemahkan oleh para imam, seperti Imam Ahmad, Abu Zar'ah dan Nasa'i.
Telah berkata Anas : Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam itu pernah mengaqiqahkan untuk dirinya setelah menjadi Rasul. (HR. Baihaqi, Bazzar, Muhammad bin Abdul Malik bin Aiman, Thabrani dan Khallal). Dalam isnad hadits ini terdapat nama ABDULLAH BIN MUHARRAR, dia itu telah dilemahkan oleh para imam, seperti Imam Ahmad, Imam Jauzjani, Daruquthni, Ibnu Hibban, Ibnu Ma'in. Demikian juga hadits yang senada yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Syaikh terdapat pada isnadnya tiga orang yang lemah : 1. ISMAIL BIN MUSLIM, 2. DAWUD IBNU MUHABBAR, 3. ABDULLAH IBNU MATSNA.
Marilah kita teliti hadits-hadits tersebut;
Telah berkata Abu Buraidah : Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda : "Aqiqah itu disembelih pada hari ke tujuhnya, atau ke empat belasnya, atau ke dua puluh satunya. (HR. Baihaqi dan Thabrani). Dalam isnad hadits ini terdapat seorang yang bernama ISMAIL BIN MUSLIM, sedang dia itu telah dilemahkan oleh para imam, seperti Imam Ahmad, Abu Zar'ah dan Nasa'i.
Telah berkata Anas : Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam itu pernah mengaqiqahkan untuk dirinya setelah menjadi Rasul. (HR. Baihaqi, Bazzar, Muhammad bin Abdul Malik bin Aiman, Thabrani dan Khallal). Dalam isnad hadits ini terdapat nama ABDULLAH BIN MUHARRAR, dia itu telah dilemahkan oleh para imam, seperti Imam Ahmad, Imam Jauzjani, Daruquthni, Ibnu Hibban, Ibnu Ma'in. Demikian juga hadits yang senada yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Syaikh terdapat pada isnadnya tiga orang yang lemah : 1. ISMAIL BIN MUSLIM, 2. DAWUD IBNU MUHABBAR, 3. ABDULLAH IBNU MATSNA.
DAWUD IBNU MUHABBAR, beliau telah dilemahkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Madini, Abu Zar'ah, Abu Hatim dan Daruquthni.
ABDULLAH IBNU MATSNA, beliau telah dilemahkan oleh Ibnu Ma'in, Nasa'i, Abu Dawud, Saji' dan Al 'Aqili.
Hadits-hadits tersebut lemah sekali (dha'if jiddan), dan telah berkata Imam Nawawi : Ini adalah hadits bathil. Dan berkata Imam Baihaqi : Hadits ini adalah mungkar.
Kemudian perhatikan redaksi (matan) hadits ini :
كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَيُحْلَقُ, وَيُسَمَّى
"Tiap-tiap anak itu TERGADAI dengan aqiqahnya yang disembelih untuk dia pada hari ketujuhnya, dan dihari itu ia diberi nama dan dicukur rambut kepalanya." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim)
Kalimat TERGADAI مُرْتَهَنٌ berbeda dengan HUTANG اَلدَّيْنُ,. Kalimat tergadai di atas adalah makna kiasan. Gadai maknanya adalah meminjam sesuatu dengan memberikan barang atau sesuatu sebagai jaminan. Maka apabila tidak dapat dibayar, tidak terhitung sebagai hutang karena telah terbayar dengan barang jaminan. Sedangkan HUTANG, maka WAJIB dibayar walaupun sudah meninggal dunia.
-------------------------- -------------------------- -------------------------- --------
Aqiqah Termasuk Perkara IbadahKalimat TERGADAI مُرْتَهَنٌ berbeda dengan HUTANG اَلدَّيْنُ,. Kalimat tergadai di atas adalah makna kiasan. Gadai maknanya adalah meminjam sesuatu dengan memberikan barang atau sesuatu sebagai jaminan. Maka apabila tidak dapat dibayar, tidak terhitung sebagai hutang karena telah terbayar dengan barang jaminan. Sedangkan HUTANG, maka WAJIB dibayar walaupun sudah meninggal dunia.
--------------------------
Aqiqah adalah termasuk perkara ibadah. Maka mengikuti (ittiba') Nabi dalam hal-hal yang bersifat ibadat, terikat paling tidak dalam kemungkinan empat syarat :
1. Tatacara.
Yaitu yang tatacaranya mengikuti tatacara Nabi , seperti shalat ( shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat ) dan haji ( ambillah tatacara haji kamu dariku ). Maka siapa saja yang melakukan suatu ibadat ( seperti ini ) yang tatacaranya berbeda dengan tatacara yang dibawa Nabi saw. maka ibadatnya menjadi batal, lantaran bukan beracuan pada perintah Nabi.
2. Tempat.
Bila sebuah ibadat yang pelaksanaannya dikhususkan pada tempat tertentu, maka sebenarnya tidak boleh melakukannya di tempat yang lainnya kecuali dengan dalil yang membenarkannya di tempat tersebut; seperti haji, thawaf, sa’i. Tidak boleh berhaji selain di Makkah.
3. Waktu ( zaman ).
Bila suatu ibadat yang memiliki waktu tertentu yang tidak shah ( pelaksanaannya ) kecuali di waktu tersebut, maka tidak boleh melakukannya pada waktu yang lain. Karena mesti mengikuti Nabi, dalam hal waktu ( pelaksanaannya ). Seperti waktu berhaji, shalat lima waktu, pemyembelihan qurban dan aqiqah serta puasa Ramadlan.
4. Qadar ( ukuran ).
Bila syari’at telah menentukan ukuran tertentu untuk suatu ibadat, maka sebenarnya siapapun tidak boleh menambah atau menguranginya. Penambahan dan pengurangan ini tidak shah kecuali dengan dalil yang mengesahkannya. Karena bila tidak ada ( dalilnya ), hal itu tidak boleh. Seperti bilangan raka’at shalat lima waktu, bilangan melontar jumrah, bilangan thawaf, bilangan sa’i, nishab zakat, bilangan kafarat dan hudud dan lain-lain. Semua ini telah ditentukan ukurannya. Maka setiap muslim wajib mengikuti Nabi saw. tentang ukuran tersebut. [Talqihul ifhamil ‘illiyah bi syarhil qawa’idil fiqhiyah 1 : 54, qaidah no.15]
__________________________
Adakah ibadah Yang Niatnya Untuk Memecahkan Rekor ?
Melihat keterangan di atas, maka tidak boleh mengadakan Aqiqah dalam rangka event-event tertentu, yang berarti niatnya sudah melenceng. Aqiqah adalah perkara ibadah, maka niatnya, tata caranya, waktunya dll harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Tidak boleh membuat cara yang baru, dalam Islam membuat cara yang baru terancam azab yang keras, yaitu neraka. Apalagi mengadakan aqiqah niatnya dalam rangka memecahkan Rekor Muri, yaitu mengejar target banyaknya Kambing yang akan disembelih. Pertama, niatnya sudah melenceng karena niat hanya ditujukan kepada Allah semata, bukan untuk memecahkan Rekor Muri. Kedua, tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah cara-cara demikian, maka berpotensi menjadi perkara bid'ah. Setiap bid'ah sesat, setiap yang sesat di neraka. Apakah Rasulullah mencontohkan demikian ? Sekali-kali tidak ! Kalau Rasulullah tidak mencontohkan, berarti sadar atau tidak sadar telah membuat syari'at baru. Sedangkan yang berhak untuk membuat syari'at hanyalah Allah yang caranya lewat petunjuk Rasul. Beribadah harus sesuai dengan cara kemauan-Nya Allah, bukan harus sesuai dengan cara kemauannya manusia.
Melihat keterangan di atas, maka tidak boleh mengadakan Aqiqah dalam rangka event-event tertentu, yang berarti niatnya sudah melenceng. Aqiqah adalah perkara ibadah, maka niatnya, tata caranya, waktunya dll harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Tidak boleh membuat cara yang baru, dalam Islam membuat cara yang baru terancam azab yang keras, yaitu neraka. Apalagi mengadakan aqiqah niatnya dalam rangka memecahkan Rekor Muri, yaitu mengejar target banyaknya Kambing yang akan disembelih. Pertama, niatnya sudah melenceng karena niat hanya ditujukan kepada Allah semata, bukan untuk memecahkan Rekor Muri. Kedua, tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah cara-cara demikian, maka berpotensi menjadi perkara bid'ah. Setiap bid'ah sesat, setiap yang sesat di neraka. Apakah Rasulullah mencontohkan demikian ? Sekali-kali tidak ! Kalau Rasulullah tidak mencontohkan, berarti sadar atau tidak sadar telah membuat syari'at baru. Sedangkan yang berhak untuk membuat syari'at hanyalah Allah yang caranya lewat petunjuk Rasul. Beribadah harus sesuai dengan cara kemauan-Nya Allah, bukan harus sesuai dengan cara kemauannya manusia.
Membuat Syari'at Baru Terancam Syirik
Firman Allah:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang lalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.(QS. Asy- S yuura : 13)
Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam membacakan firman Allah berikut ini;
"Mereka menjadikan para pendeta, dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah...(QS. At Taubah : 31),
Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam membacakan firman Allah berikut ini;
"Mereka menjadikan para pendeta, dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah...(QS. At Taubah : 31),
Adi bin Hatim berkata: "Kami dulu orang-orang Nasrani tidak menyembah mereka" [para pendeta dan pemuka agama Nasrani].
Kemudian Rasulullah berkata : "Bukankah mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian mengikutinya ?
Jawab Adi bin Hatim : "Ya, benar.
Kata Nabi : "Itulah bentuk penyembahan [kalian] terhadap mereka" . (HR. Tirmidzi dari Adi bin Hatim).
*Adi bin Hatim sebelum masuk Islam, beliau dahulunya beragama Nasrani.Kemudian Rasulullah berkata : "Bukankah mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian mengikutinya ?
Jawab Adi bin Hatim : "Ya, benar.
Kata Nabi : "Itulah bentuk penyembahan [kalian] terhadap mereka" . (HR. Tirmidzi dari Adi bin Hatim).
Silahkan baca link ini :
http://www.facebook.com/no
Wallahu a'lam
Anwar Baru Belajar