Rabu, 23 Juni 2010

Anakku, Inilah Salah Satu Bekalmu Kelak di Jalan Dakwah

Anakku, di usiamu yang menjelang delapan belas tahun ini, dirimu yang dulu manja dan terkadang suka menangis di balik bantal di minggu-minggu pertamamu di ma'had, kini telah menjelma menjadi seorang pemuda. Semoga ilmu yang sudah kau dapatkan selama ini (dan insya Allah masih akan kau dapatkan lebih banyak lagi), kelak bisa memberikan manfaat kepada dirimu sendiri, untuk kedua orang tuamu, untuk adik-adikmu, dan untuk seluruh kaum muslimin. Semoga dirimu bisa menjadi perwujudan do'a yang senantiasa dipanjatkan oleh kedua orang tuamu:


رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

""Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." (Al-Furqaan: 74)





Anakku, izinkan ayahmu yang miskin ilmu ini menyampaikankan sepercik nasihat yang sangat berharga untuk dirimu, sebagai salah satu bekalmu kelak di jalan dakwah, sebuah nasihat yang aku salin dari sebuah kitab yang berjudul Al-Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shaalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah (Intisari ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah), karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil Hamid Al-Atsari, dari bab yang berjudul: SYARAT DAN KAIDAH BERDAKWAH KEPADA 'AQIDAH SALAFUSH SHALIH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil Hamid Al-Atsari mengatakan:

Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa dakwah kepada ‘aqidah Salafush Shalih tidak akan terealisasi kecuali dengan tiga syarat:

Pertama: ‘Aqidah yang benar.
Selamat ‘aqidahnya. Maksudnya, hendaklah kita ber’aqidah sebagaimana ‘aqidah Salaf tentang Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma’ wa Shifat, serta semua yang berkaitan dengan masalah ‘aqidah dan keimanan.

Kedua: Manhaj yang benar.
Yaitu memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih. Mengikuti prinsip dan kaidah yang telah ditetapkan ulama Salaf.

Ketiga: Pengamalan yang benar.
Seorang yang berdakwah, mengajak ummat kepada Islam yang benar, maka ia harus beramal dengan benar, yaitu beramal semata-mata ikhlas karena Allah dan ittiba’ (mengikuti) contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mengadakan bid’ah baik dalam i’tiqad (keyakinan), perbuatan atau perkataan.

Sesungguhnya dakwah ke jalan Allah Ta’ala merupakan amal yang paling mulia dan ibadah yang paling tinggi serta merupakan kekhususan dari para utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tugas dari para wali (Allah) dan orang-orang shalih yang paling istimewa. Allah Ta’ala berfirman:


وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (Al-Fushshilat: 33)



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita mengemban dakwah ini kepada manusia dan bagaimana metode menyampaikannya. Di dalam sejarah peri kehidupan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak pelajaran yang dapat kita ambil bagi orang yang menghendakinya.

Maka wajiblah bagi para juru dakwah dalam menyerukan ‘aqidah Salaf agar mengikuti manhaj Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah. Tidak diragukan lagi bahwa di dalam manhaj beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat keterangan dan penjelasan yang benar tentang uslub (metode) berdakwah kepada Allah, sehingga mereka tidak membutuhkan lagi metode-metode bid’ah yang diada-adakan oleh sebagian manusia, yang menyelisihi manhaj dan peri kehidupan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, wajib bagi para juru dakwah untuk menyeru ke jalan Allah Ta’ala seperti yang telah dilakukan generasi Salafush Shalih dengan memperhatikan perbedaan waktu dan tempat.

Berangkat dari pemahaman yang benar ini, maka saya berusaha untuk menyebutkan sebagian kaidah dan landasan bagi para juru dakwah; dengan harapan semoga hal ini bermanfaat dalam perbaikan ummat yang kita idamkan:

Kaidah dan Landasan Para Juru Dakwah

1. Ketahuilah bahwa dakwah kepada Allah Ta’ala itu merupakan suatu jalan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. “Sungguh seseorang yang diberikan hidayah oleh Allah melalui jalan kamu, hal itu lebih baik bagimu daripada unta yang merah (pilihan).” (Muttafaq ‘alaihi, pent). Pahala akan diperoleh hanya dengan sekedar berdakwah dan tidak terkait dengan respon (obyek dakwah). Juru dakwah tidak dituntut untuk merealisasikan kemenangan Islam karena hal ini adalah urusan Allah dan berada di tangan-Nya. Akan tetapi bagi juru dakwah dituntut untuk mencurahkan kemampuannya dalam berdakwah.

Bagi juru dakwah mempersiapkan diri merupakan syarat. Pertolongan Allah merupakan janji. Sedang dakwah merupakan satu bentuk dari jihad, terdapat titik temu antara berdakwah dan jihad dalam tujuan dan hasil.

2. Menegaskan dan memperdalam manhaj Salafush Shalih yang tertuang dalam manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang terkenal dengan wasathiyah (pertengahan), syumuliyah (universalitas), i’tidal (moderat), jauh dari ifrath (berlebihan) dan tafrith (melalaikan).

Landasannya adalah ilmu syar’i yang konsisten terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Landasan inilah yang memelihara dari ketergelinciran –dengan anugerah dari Allah- dan memberikan cahaya bagi orang yang bertekad bulat untuk berjalan di atas jalan para Nabi.

3. Berupaya untuk mewujudkan jama’atul Muslimin dan menyatukan kalimat mereka di atas kebenaran, yang bersumber dari manhaj yang menyatakan: “Kalimatut tauhid (Laa ilaaha Illallaah) merupakan pokok untuk menyatukan barisan.” Dengan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dapat memecah-belah kelompok-kelompok Islam pada saat ini seperti tahazzub (membuat partai-partai) yang tercela, yang mencerai-beraikan barisan kaum Muslimin bahkan menjauhkan antara hati mereka.

Pemahaman yang benar bagi setiap jama’ah dakwah kepada Allah adalah: Satu jama’ah dari kaum Muslimin tidak dapat disebut jama’ah kaum Muslimin.

4. Loyalitas itu wajib untuk agama bukan untuk para tokoh; karena kebenaran akan kekal sedangkan para tokoh akan wafat. Kenalilah kebenaran itu niscaya kamu akan mengenal penganutnya (siapa yang mengikuti kebenaran itu).

5. Menyeru untuk saling tolong menolong dan (menyeru) kepada segala sesuatu yang dapat mewujudkannya. Menjauhi khilaf (perselisihan) dan dari segala sesuatu yang dapat menyebabkan khilaf tersebut. Hendaknya satu sama lain harus saling tolong menolong dan nasihat menasihati dalam hal yang kita perselisihkan selama hal tersebutdalam masalah khilafiyah dengan tanpa saling membenci.

Prinsip yang harus ditegakkan di antara kelompok-kelompok Islam adalah: Saling bekerja sama dan bersatu. Jika hal tersebut tidak dapat diwujudkan, maka hendaknya saling hidup damai berdampingan; kalau itu pun tidak, maka yang keempat adalah kebinasaan.

6. Tidak fanatik kepada jama’ah yang dianutnya. Bersikap menyambut apapun upaya yang terpuji yang telah diberikan oleh orang lain, selama sesuai dengan syari’at lagi jauh dari ifrath dan tafrith.

7. Perselisihan dalam masalah furu’ (cabang-cabang) syari’ah menuntut sikap lapang dada dan dialog, bukan permusuhan dan pembunuhan.

8. Melakukan introspeksi, koreksi yang kontinyu, dan evaluasi yang berkesinambungan.

9. Belajar adab berselisih pendapat, memperdalam dasar-dasar diskusi dan menyatakan bahwa kedua-duanya adalah penting dan seharusnya dimiliki sarananya.

10. Jauh dari sikap memvonis secara umum dan berhati-hati dalam masalah ini serta (berhati-hati dari) tidak adil dalam menghukumi setiap pribadi. Termasuk keadilan adalah menghukumi berdasarkan manka-makna (yang tersirat) bukan yang tersurat.

11. Membedakan antara tujuan dan sarana; misalkan dakwah adalah tujuan, sedangkan pergerakan, jama’ah dan markas (Islamic Center) dan lain-lain merupakan sarana.

12. Teguh dalam tujuan dan fleksibel dalam sarana berdakwah sesuai yang dibolehkan oleh syari’at.

13. Memperhatikan masalah prioritas dan menyususn segala sesuatu secara berurutan sesuai dengan kepentingannya. Jika perlu ada sesuatu yang sekunder, maka harus memperhatikan waktu, tempat dan kondisi yang tepat.

14. Tukar menukar pengalaman di antara para juru dakwah adalah hal yang penting dan membangun di atas pengalaman orang yang mendahului. Seorang juru dakwah hendaknya jangan memulai dari kosong (nol). Bukanlah dia orang pertama yang tampil berkhidmah kepada agama ini dan juga bukan orang yang terakhir. Karena sekali-kali tidak akan ada orang yang tidak perlu nasihat dan petunjuk; atau tidak akan ada orang yang memonopoli seluruh kebenaran dan sebaliknya.

15. Menghormati para ulama ummat yang dikenal dengan konsistennya terhadap as-Sunnah dan ‘aqidah yang benar, mengambil ilmu darinya, menghormatinya, tidak bersikap sombong padanya, menjaga kehormatannya, tidak meragukan niat baiknya, tidak fanatic kepadanya dan tidak menuduh mereka. Karena setiap orang alim ada benar dan ada salahnya. Kesalahan dari orang alim tersebut ditolak, tanpa mengurangi keutamaan dan kedudukannya selama dia seorang mujtahid.

16. Berbaik sangka kepada kaum muslimin dan membawa perkataannya kepada pengertian yang terbaik serta menutup cacat mereka, tanpa melalaikan untuk memberikan keterangan kepada orang yang bersangkutan.

17. Jika kebaikan seseorang lebih banyak, maka tidak disebut kejelekannya kecuali kalau ada maslahatnya. Jika kejelekannya lebih banyak, maka kebaikannya tidak disebut, karena takut menjadikan rancu perkaranya bagi orang awam.

18. Menggunakan kata-kata yang syar’i karena lebih tepat dan sesuai, dan menjauhi kata-kata asing dan pelik seperti: musyawarah bukan demokrasi.

19. Sikap yang benar atas madzhab-madzhab fiqih: bahwa ia merupakan kekayaan fiqih yang agung, wajib bagi kita mempelajarinya, mengambil manfaat darinya dan tidak fanatic serta tidak menolanya secara keseluruhan. Kita hendaknya menjauhi pendapat yang lemah dan mengambil yang haq dan benar menurut tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih.

20. Menetapkan sikap yang benar terhadap dunia barat dan peradabannya, yaitu mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan empiris mereka sesuai dengan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan agama kita yang agung ini.

21. Mengakui urgensi musyawarah dalam berdakwah dan keharusan juru dakwah mempelajari tentang fiqaih musyawarah.

22. Suri teladan yang baik. Seorang juru dakwah merupakan cerminan dan contoh hidup dalam misi dakwahnya.

23. Mengikuti metode hikmah dan nasihat yang baik serta menjadikan firman Allah:p


ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (An-Nahl: 125)
Sebagai neraca dalam berdakwah dan hikmah untuk diikuti.



24. Berhias diri dengan kesabaran, karena ini merupakan sifat para Nabi dan utusan Allah serta penunjang keberhasilan dalam dakwahnya.

25. Jauh dari tasyaddud (mempersulit) dan berhati-hati dari penyakit tasyaddud dan hasilnya yang negatif. Berbuat kemudahan dan lemah lembut dalam batas-batas yang dibolehkan oleh syari’at.

26. Seorang Muslim selalu mencari kebenaran; dan keberanian dalam mengatakan kebenaran sangat dibutuhkan dalam berdakwah. Jika kamu lemah untuk mengatakan yang benar maka janganlah mengatakan yang bathil.

27. Berhati-hati terhadap futur (patah semangat) dan hasilnya yang negatif serta tidak lalai dalam mempelajari sebab dan solusinya.

28. Waspada terhadap segala isu (kabar angin) dan (dari) menyebarluaskannya serta hal-hal negatif yang ditimbulkannya pada masyarakat Islam.

29. Barometer keistimewaan seseorang adalah takwa dan amal shalih; dan mengesampingkan segala fanatisme jahiliyyah seperti fanatisme daerah, keluarga, kelompok maupun jama’ah.

30. Manhaj (metode) yang afdhal dalam berdakwah adalah memulai dengan mengemukakan hakikat Islam dan manhajnya. Bukan mendatangkan syubhat lalu membantahnya. Kemudian memberikan kepada manusia neraca kebenaran, mengajak mereka pada pokok-pokok agama dan berbicara kepada mereka menurut kemampuan akal pikir mereka. Mengetahui celah untuk memasuki jiwa mereka merupakan pintu masuk untuk memberikan hidayah kepada mereka.

31. Para juru dakwah dan pergerakan Islam hendaknya senantiasa menjaga hubungan dengan Allah Ta’ala, mempersembahkan upaya manusiawi, meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala dan meyakini bahwa Allah-lah yang membimbing dan mengarahkan perjalanan dakwah serta Dia-lah yang akan melimpahkan taufik bagi para da’i. Sesungguhnya agama dan segala urusan ini adalah milik Allah Ta’ala.

Itulah beberapa kaidah dan manfaat yang merupakan buah pikiran dari pengalaman kebanyakan para ulama dan juru dakwah.

Hendaknya kita ketahui dengan yakin bahwa para juru dakwah seandainya mereka mengerti kaidah-kaidah (aturan-aturan) ini dan mengamalkannya, pasti mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak dalam perjalanan dakwah.

Hendaknya seluruh juru dakwah mengetahui bahwa tidak ada kebaikan bagi mereka dan tidak ada keberhasilan dalam dakwahnya kecuali dengan menjalin hubungan dengan Allah Ta’ala, bertawakkal kepada-Nya dalam segala urusan, memohon taufiq-Nya, niat yang ikhlas, bersih dari keinginan hawa nafsu dan menjadikan segala perkara hanya milik Allah Ta’ala.

(Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shaalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil Hamid Al-Atsari, Edisi Indonesia: Intisari ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta).

Para ulama yang telah memberikan kata sambutan terhadap kitab tersebut, di antaranya:

1. Yang mulia al-‘Allamah ‘Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin.
2. Yang mulia Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh (Menteri Urusan Agama Islam, Saudi Arabia)
3. Syaikh Prof. Dr. Nasir bin ‘Abdul Karim al’Aql (Guru Besar Studi ‘Aqidah di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh)
4. Syaikh Su’ud bin Ibrahim asy-Syuraim (Hakim Mahkamah Agung di Mekkah, Imam dan Khatib di Masjidil Haram)
5. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (Pengajar di Darul Hadits al-Khairiyah, Mekkah).

Telah dikoreksi dan mendapatkan pendapat-pendapat yang kritis dan pandangan-pandangan yang cemerlang dari:

1. Yang mulia al-‘Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
2. Syaikh Dr. ‘Abdul Muhsin bin ‘Abdul ‘Aziz al-‘Askar (Pengajar di fakultas Bahasa Arab Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh).

Demikianlah nasihat yang bisa aku sampaikan kepadamu saat ini, anakku. Jangan lupa untuk senantiasa mendo'akan kebaikan bagi dirimu sendiri, bagi kedua orang tuamu, bagi adik-adikmu, dan juga bagi seluruh kaum muslimin. Semoga Allah Ta’ala mudahkan kita dalam kebaikan, dimana saja kita berada, Allahumma amin.

Abu Muhammad Herman
(Yang sangat membutuhkan ampunan dan rahmat Allah Ta’ala)

Catatan Terkait:

BEKAL BAGI PARA DA'I DALAM BERDAKWAH (Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah) http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150180180610