Senin, 21 Juni 2010

Bakar Kemenyan dan Dupa Berasal dari Agama Hindu

Pertanyaan : Mohon penjelasan tentang kebiasaan sebagian masyarakat yang membakar kemenyan dan dupa sebelum melakukan do'a dan persembahan ?

Jawab : Membakar kemenyan dan dupa banyak dijumpai dalam upacara agama Hindu. Pada waktu permohonan tirta yang dilakukan Sang Pandita sebelum persembahyangan Tri Sandya dan Muspa, Mecaru dan sebelum pelarungan seganten sesaji Melasti.

Dalam Kitab Regweda disebutkan:

"Api adalah pengantar upacara, penghubung manusia dengan Brahman." (Regweda X, 80 : 4)

"Api (Agni) adalah Dewa pengusir Raksasa dan membakar habis semua mala dan dijadikannya suci." (Regweda VII 15 : 10)

"Hanya Agni (api) pimpinan upacara Yajna yang sejati menurut weda." (Regweda VIII 15 : 2)

Dalam Kitab Upadesa halaman 58 diterangkan bahwa api dupa merupakan saksi serta pengantar persembahan.
_____________
Anwar Baru Belajar
Dikutib dari buku : Santri Bertanya Mantan Pendeta (Hindu) Menjawab.

Note :
Agar tidak salah paham, harap dibedakan niat membakar gaharu, rempah wangi-wangian dengan tujuan sekedar untuk membuat suasana ruangan menjadi harum dan wangi dengan membakar kemenyan dan dupa sebagai pengantar /sarana ibadah untuk pemanggilan roh mahluk halus. Tujuan yang pertama diperbolehkan, sedangkan yang kedua terlarang dalam Islam.

--------------------------------------------------------------------------
Artikel di bawah ini adalah tulisan Nyoman Sukadana, seorang penganut agama Hindu;
AGNIHOTRA DALAM NYALA SEBATANG DUPA

Mengamati fenomena semakin maraknya kegiatan Upacara Agnihotra (Homa Yadnya) dibeberapa tempat di Indonesia khususnya di Bali, maka pada suatu kesempatan menghadap seorang Pandita, penulis menanyakan apa sebenarnya makna hakiki dari Agnihotra ini. Pandita menjawab dengan singkat tetapi jelas, bahwa ”Ketika menghidupkan sebatang dupa untuk sembahyang maka itu adalah Agnihotra”. Penulis tercenung sejenak tetapi kemudian tersadar dengan suatu pemahaman yang terang benderang, bahwa Inti dari Yadnya Agnihotra adalah pemujaan kepada Dewa Agni dan dalam nyala sebatang dupa yang kita haturkan sesungguhnya kita sudah melakukan Agnihotra. Lalu kenapa sekarang ini masih muncul perdebatan seputar pelaksanaan Yadnya Agnihotra ini ? Itu karena kebiasaan kita hanya melihat pada kulitnya saja yaitu ritualnya tidak menyatukan diri pada makna utama dari yadnya ini yaitu persembahan kepada Dewa Agni. Jika dengan sebatang dupa kita sudah melaksanakan Agnihotra maka haruskah mengikuti Yadnya ini seperti yang biasa dilakukan di India ? Lalu apakah kita larang saudara kita dari India atau orang Bali yang belajar di India, untuk melaksanakan Yadnya Agnihotra ini ? Tentunya tidak !!, masalah sembahyang seperti halnya keyakinan beragama adalah masalah pribadi dan bersifat hak asasi yang tidak perlu dilarang, asalkan tidak mengganggu ketentraman orang lain. Untuk itu sebelum kita terlanjur menghakimi fihak lain salah atau benar, maka alangkah baiknya dipahami dulu apa itu Agnihotra.

AGNIHOTRA adalah upacara yadnya untuk memuja Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Agni, dan merupakan maha yadnya, multifungsi, efisien, serta effektif. Sumber-sumber upacara Agnihotra bisa dijumpai pada kitab-kitab Ithihasa, Purana (Kekawin Ramayana) dan beberapa upanisad seperti: Swetha Swatara Upanisad, Maitri Upanisad, Prasna Upanisad, dan Sri Isopanisad. Didalam kitab suci Reg Weda, Sama Weda, Yayur Weda, Atharwa Weda, puja-puja terhadap Dewa-Dewa sangat banyak tetapi yang dominan adalah puja-puja kepada Dewa Agni. Dewa Agni, dalam bentuk material api dalam kehidupan manusia memiliki tujuh fungsi sebagai berikut :

1. Sebagai penerang
2. Sebagai pencuci dan pembasmi kekotoran
3. Sebagai pengusir roh jahat
4. Sebagai penghubung pemuja dan yang dipuja
5. Sebagai saksi upacara
6. Sebagai pendeta pemimpin upacara
7. Sebagai sumber kekuatan atau energi.

Atharwa Weda XXVIII.6, menyatakan : Yatra suharda, sukrtam Agnihotra hutam yatra lokah tam lokam yamniyabhisambhuva sano himsit purusram pasumsca. (Dimana mereka yang hatinya mulia bertempat tinggal, orang yang pikirannya damai dan mereka yang mempersembahkan dan melaksanakan Agnihotra, disana majelis (pimpinan masyarakat) bekerja dengan baik, memelihara masyarakat, tidak menyakiti mereka dan binatang ternaknya.) Dengan demikian sesungguhnya Yadnya Agnihotra mempunyai landasan sastra yang jelas sehingga tidak perlu membuat kita ragu lagi. Yang perlu dibicarakan dengan bijaksana adalah aplikasinya dalam keseharian masyarakat khususnya di Bali yang sangat kuat adatnya jangan sampai umat pada tataran awam menjadi menolak Agnihotra ini hanya karena melihat ritualnya yang sangat berbeda dengan kebiasaan upacara yadnya di Bali (Ke-Indiaan). Penolakan ini tidak hanya pada tataran masyarakat awam tetapi ada juga Pandita yang tidak sependapat walaupun tidak prontal seperti dengan tidak mengijinkan dilaksanakan di utama mandala (Jeroan Pura). Berbicara sebuah ritual sebenarnya juga berbicara masalah adat dimana adat ini adalah kebiasaan masyarakat dan bersifat tidak kekal (dinamis) sehingga mau tidak mau akan menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Walaupun demikian memadukan adat yang berbeda (India dan Indonesia/Bali) seperti dalam aplikasi Yadnya Agnihotra dengan tradisi India yang dilaksanakan di Bali, maka perlu kesadaran, bahwa hal itu akan dapat menimbulkan pertentangan, maka tindakan yang bijak adalah tidak ekstreem dengan serta merta (100%) membawa tata cara India ke Bali tetapi yang terbaik adalah menyesuaikan dengan local genius tanpa menghilangkan maknanya. Ada “Hotri” (pemimpin Yadnya Agnihotra) yang sudah dapat melakukannya dengan baik sehingga saat mengikuti Agnihotra, maka perpaduan India dan Bali sangat baik sehingga hampir menyerupai Puja Stawa Pemangku tetapi tetap terasa bedanya. Disisi lain ada yang menurut penulis tidak berhasil menyatukan hal ini khususnya adaptasi nyanyian-nyayian daerah seperti “Janger” yang sangat tidak cocok dengan kekhusukan yadnya. Hal lain adalah cara duduk apakah harus melingkar khususnya ketika dilaksanakan didalam Pura, karena kebiasaan kita di Bali (Indonesia) adalah menghadap ke Pelinggih sehingga tidak membelakangi Pelinggih. Juga kebiasaan menghadap ke Matahari atau gunung. Lalu sarana yadnya, apakah tidak bisa dari lokal karena kita dididik oleh leluhur untuk mengambil sarana sembahyang dari lingkungan kita, seperti kita dibiasakan untuk menanam kembang, pohon janur, dll yang nantinya akan kita persembahkan kembali kepada Hyang Widhi, nah kalau untuk Agnihotra kemudian kita harus import bahan-bahan dari India apakah hal itu benar ? dan banyak hal yang akan berbeda penafsiran bagi setiap orang, bagi setiap kepala.

Jika demikian, berpalinglah sejenak pada “sebatang dupa” karena didalamnya memancar kekuatan Dewa Agni dalam tujuh bentuk yang agung salah satunya sebagai “Penerang” semoga dalam nyala sebatang dupa kita lebih memahami hakekat Agnihotra yang sejati dan tidak memperdebatkan bhakti kepada Beliau ini hanya karena ritualnya berbeda, caranya berbeda, bahannya berbeda, tetapi menyatukan diri dalam sebuah BHAKTI apapun bentuknya.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah

Artikel yang terkait:
Jawanisasi Hindu dan Pembiasannya.