Senin, 21 Juni 2010

ANTARA PERINTAH BERZIKIR DAN BERZIKIR BERSAMA DENGAN SUARA YANG NYARING

Bismillahirrahmanirrahim


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلا

"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Al- Ahzaab : 41 - 42)

Perintah berzikir banyak dalam al Qur'an. Dalil-dalil yang lain dalam Al-qur’an :


Al Baqarah : 198,200,203,239, Al-Ahzab :35, Ali Imron : 41,191, Ar-Ra’d : 28, Al-Anfal :45, Al-Hasyir : 19, Al-Munafiqun : 9. Al -Ahzab : 41- 42, Al Maidah :4, Al Hajj : 36, Al Muzammil : 8, Al Insaan : 25, dan lain-lain.

Ayat-ayat diatas bersifat “umum” (‘aam), kemudian bagaimana cara berzikir dan berdo’anya di-“tahsis” (dikhususkan) oleh ayat Al-Qur’an :


CARA BERZIKIR

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

"Dan berdzikirlah (sebutlah nama Rabbmu) dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara, diwaktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (Al-A’raf : 205)

Kandungan ayat :

1. Berzikir hendaknya di dalam hati

2. Berzikir hendaknya dengan tidak mengeraskan suara

3. Berzikir hendaknya dengan merendahkan diri dengan rasa takut kepada Allah

4. Pagi dan petang adalah batas perputaran waktu bagi ummat Islam. Karena masuknya waktu untuk hari berikutnya (Besok) adalah waktu petang atau Magrib. (Kalender Hijriyah). Sedangkan kalender Masehi perubahan waktu baru terjadi jam : 00:00 waktuTengah Malam.

5. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa berzikir hanya pada waktu pagi dan petang, tetapi berzikirlah selama diantara keduanya. Yaitu antara pagi ke petang dan antara petang ke pagi.


Ayat ini adalah JUKLAK : (Petunjuk Pelaksanaan / Cara) BERZIKIR
Ayat-ayat tentang do'a atau berdo'a juga banyak dalam al Qur'an. Dan sekarang bagaimana cara berdo'anya ?


CARA BERDO'A

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

"Berdo’alah kepada Rabb kalian dengan merendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (Al-A’raf : 55).

Kandungan ayat :

1. Berdo'a hendaklah dengan cara merendahkan diri
2. Berdo'a hendaklah dengan suara yang lembut (tidak keras, apalagi memakai Pengeras Suara)

Ayat ini adalah JUKLAK : (Petunjuk Pelaksanaan / Cara) BERDO'A

Keterangan :

Tafsir Al-Qurtubi, al Qurtubi dalam tafsirnya (1/130) menafsiri surat Al-A’raf : 55,

"Merahasiakan doa (tidak dengan suara yang nyaring) jauh lebih mulia, karena yang demikian itu tidak disusupi riya”.

Tafsir Al-Baidhawy (3/27) :

“Kemudian Allah memerintahkan mereka agar berdo’a kepada-Nya dengan merendah diri dan ikhlas, dengan berfirman, ‘Ud’u Rabbakum tadharru’an wa khufyatan’. Artinya dengan merendah diri dan suara yang lembut. Suara yang lembut ini merupakan bukti ikhlas".

Atau Silahkan baca :

1. Tafsir Ibnu Katsir (2/222), atau surah al 'Araf ayat 55 dan 205
2. Tafsir Fathul Qadir (2/215), atau surah al 'Araf ayat 55 dan 205
3. Tafsir Ruhul Ma’any (9/154). atau surah al 'Araf ayat 55 dan 205
4. Tafsir At-Thabari surah al 'Araf ayat 55 dan 205
5. Tafsir Jalalain surah al 'Araf ayat 55 dan 205
6. Tafsir As-Sa'dy surah al 'Araf ayat 55 dan 205
7. Tafsir Al-Misbah ; Prof.Dr. Quraish Shihab pada surah Al 'Araf 55 dan 205.
8. Tafsir Al-Azhar ; Prof.Dr. Hamka pada surah Al 'Araf 55 dan 205

Ibnu Abbas berkata ketika beliau masih kanak-kanak (beliau belum ikut shalat berjama'ah) mendengar Rasulullah berzikir dengan suara keras atau nyaring seusai shalat fardu, dan Rasulullah melakukan hal tersebut dalam rangka mengajari bacaan zikir kepada para sahabat. (lihat Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi juz 5 hal. 84)

"Aku mengetahui bahwa selesainya shalat Rasulullah dengan takbir"

Dalam riwayat lain:

"Bahwa mengeraskan dzikir ketika orang-orang telah selesai melaksanakan shalat fardu terjadi pada masa Rasulullah"

Namun beberapa tahun kemudian setelah ia (Ibnu Abbas) beranjak dewasa, ia tidak pernah mendengar rasulullah dan para sahabat berzikir dengan suara yang nyaring. Ibnu Abbas berkata:

“Zikir dan do’a tidak boleh bersuara dengan keras, tetapi harus sembunyi, sirr, hanya pelakunya sendiri yang mendengar (komat-kamit), siapapun didekatnya tidak dapat mendengar suaranya.

Rasulullah menegur para shahabat ketika meninggikan suara mereka ketika berdoa,

اربعوا علي انفسكم فانكم لا تدعو ن أصم ولا غاء بًا انكم تدعون سميعًا قريبًا

“Kasihanilah diri kalian karena kalian tidak berdo’a kepada Rabb Yang tuli dan jauh, tetapi kalian berdo’a kepada Rabb Yang Mahamendengar dan Mahadekat”.

(Hadits Shahih Riwayat Bukhari no. 6384, Fathul Baari XI/187, HR. Muslim no. 2704 atau HR. Bukhari (7/162-169), HR. Muslim (8/73-74), HR. Abu Dawud no. 1526, 1527, 1528. HR. Tirmidzi (5/172-173), HR. Ahmad (3/393, 402, 418) dari jalan Abu Musa Al Asy’ary.


Dari Abu Said al Khudry, ia berkata:

اعْتَكَفَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ ، فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُون بِالْقِرَاءَةِ وَهُوَ فِي قُبَّةٍ لَهُ ، فَكَشَفَ السُّتُورَ ، وَقَالَ : إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ، وَلاَ يَرْفَعَنَّ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ

"Rasulullah pernah 'itikaf di masjid, lalu beliau mendengar sebagian sahabat mengeraskan bacaan, maka beliau membuka tabir (kemahnya yang berada di dalam masjid) dan bersabda, "Ketahuilah ! Sesungguhnya tiap-tiap kamu itu sedang bermunajat kepada Rabb-nya, oleh karena itu janganlah sebagian kamu mengganggu sebagian yang lain, dan janganlah sebagian kamu mengeraskan bacaannya kepada sebagian yang lain"

(Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud no: 1332, Ibnu Khuzaimah No: 1162, HR. Ahmad di dalam Musnad No: 11913.)

----------------------------------------------------------

Kitab Al Umm, Imam Syafi'i [terjemahan]
Imam Syafi'i dalam kitabnya Al Umm ( dalam bab Berkata-katanya Imam dan duduknya sesudah memberi salam ) berkata :

واختيار للامام والمأموم أن يذكر الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماما يجب أن يتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تعلم منه ثم يسر

"Dan aku (Imam Syafi'i) lebih memilih bagi para imam dan makmum untuk berzikir setelah shalat (lima waktu) dengan cara menyembunyikan (tidak mengeraskan suara), kecuali bila si Imam harus mengajarkan kepada makmum (apa yang dibaca), maka ia boleh mengeraskan bacaan tersebut sampai mereka (makmum) bisa, tetapi ia (si Imam shalat) kembali untuk tidak mengeraskan suaranya apabila makmum sudah bisa".



  • Mazhab Hanafi


  • Imam Alaauddin Al-Kaasaani Al Hanafi dalam kitabnya Bada’ush Shanaa’i fi Tartiibisy Syaraa’i (I/196) dari Abu Hanifah berkata :

    “Mengeraskan suara (tasbih, tahmid, takbir) pada asalnya adalah bid’ah, karena sunnahnya, zikir diucapkan dengan suara lembut. Allah berfirman : “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut “( Al-A’raaf : 55)



  • Mazhab Maliki


  • Asy-Syaikh Muhammad bin Ahman Miyarah Al-Maliky kitabnya Ad-Daruts Tsamin wal Mauridul Mu’ayyan (hal: 173,212) :

    "Imam Malik beserta sejumlah ulama membenci kebiasaan para imam yang memimpin para jama’ah masjid untuk berdo’a bersama dengan suara keras disetiap selesai shalat wajib".



  • Mazhab Hambali


  • Imam Ibnu Qudamah berkata dalam kitabnya Al-Mughny (II/251) :

    “Disunnahkan berzikir dan berdo’a disetiap selesai shalat. Hal itu disunnahkan sesuai dengan apa yang telah diriwayatkan dalam hadits”. Syaihk Al-Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang zikir dan do’a setelah shalat. Beliau menyebutkan sebagian hadits dari Rasulullah tentang zikir-zikir setelah shalat wajib. Beliau berkata : “Tak seorangpun ulama hadits yang telah meriwayatkan hadits Nabi, tentang imam dan makmum berdo’a bersama setiap selesai shalat”.



  • Mazhab Syafi’i


  • Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm (I/II) berkata :

    “Pendapat yang aku pilih perihal imam dan makmum, hendaknya keduanya berzikir kepada Allah setiap usai shalat wajib tanpa mengeraskan zikir, kecuali bagi seorang imam yang berkewajiban untuk mengajarkan kepada makmumnya. Hingga ketika imam melihat bahwa mereka telah mampu, diapun kembali berzikir dengan suara pelan".

    Atau dalam kitab "al Umm" terjemahan Indonesia oleh Prof Tk. H. Ismail Yakub Sh, MA. Jilid I (satu) Hal. 296: Imam Syafi'i mengatakan :

    "Saya memandang baik bagi imam dan ma'mun, bahwa berzikir kepada Allah, sesudah keluar dari shalat. Keduanya itu menyembunyikan dzikir, kecuali bahwa dia itu imam yang harus orang belajar dari padanya. Maka ia mengeraskan suaranya, sehingga ia melihat bahwa orang telah mempelajari dari padanya. Kemudian ia mengecilkan suaranya".(cuplikan sesuai dengan buku asli terjemahan tanpa merubah teks sedikitpun)

    Imam An-Nawawy dalam kitabnya Al-Majmuu (III/465-469) berkata :

    “Imam Syafi’i beserta para pengikutnya sepakat atas disunnahkannya berzikir setiap selesai shalat. Hal itu disunnahkan bagi seorang imam, makmum, sendirian, laki-laki, perempuan, orang musyafir dll. Adapun kebiasaan orang-orang atau kebanyakan mereka yang mengkhususkan do’a seorang imam dalam dua waktu shalat, yakni subuh dan asar tidak ada dalil".

    Kemudian Imam Nawawi, dalam kitabnya Tahqiq (219) beliau berkata :

    “ Disunnahkan berzikir dan berdo’a dengan suara rendah setiap selesai shalat. Dan jika seorang imam ingin mengajari para makmum, boleh baginya mengeraskan zikirnya, dan apabila mereka sudah mengerti, imam itu kembali merendahkan suara zikirnya”.

    Permasalahannya adalah :

    1. Para makmun biasanya tergantung pada imam seumur hidup, tidak mau belajar bacaan zikir

    2. Kalau untuk mengajari cara berzikir, kemudian apa yang mesti dibaca dalam berzikir, tidak mesti ketika selesai shalat saja. Banyak waktu lain diluar waktu shalat untuk megajarkan tata caranya. Misalnya lewat ta'lim atau pada pengajian-pengajian.

    3. Bila suatu ketika imam shalat tidak memandu berdo’a bersama sesudah shalat, seakan mereka merasa ada yang kurang dalam shalatnya. Mereka langsung berprasangka buruk terhadap imam tersebut dan menuduhnya macam-macam. Padahal ia tidak mengerti bahwa perintah wajib berjama’ah adalah berjama’ah dalam shalat, bukan pada do’a dan zikir. Ingat definisi shalat ! Diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.


    Ibnu Katsir dalam kitabnya "Bidayah wan Nihayah" Juz 10, Hal. 270,282 mengatakan:

    "Dan di dalamnya terdapat surat al Ma'mun kepada Ishaq bin Ibrahim yang menjabat sebagai wakilnya di Bagdad, yang berisi perintah kepadanya agar menyuruh kaum muslimin bertakbir setiap selesai shalat wajib (shalat lima waktu)."padahal perkara seperti (perintah) ini tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah dan para sahabat.

    Keterangan :

    Pencipta pertama takbir jama’i (berjamaah) adalah Mu’adhad bin Yazid Al-‘Ajili dan teman-temannya di Kufah. Lalu Ibnu Mas’ud RA melarang mereka dan melempar mereka dengan kerikil. Yang demikian itu terjadi sebelum wafatnya Ibnu Mas’ud tahun 33 H. Dan sungguh mereka telah menghentikan perbuatan tersebut, sampai perbuatan itu kemudian dimunculkan lagi oleh kaum sufi/orang-orang tasawuf pada masa Ma'mun (198 H-218 H/813 M-833 M) dan setelahnya, sedang masa itu ada orang tasyayyu’ (Syi’ah), dialah yang menciptakan bid’ah baru, bertakbir jama’i setelah shalat di masjid-masjid.

    Baca juga kitab-kitab ulama-ulama Syafi'iyyah seperti di bawah ini:

    1. Imam Nawawi dlm Kitab al Majmu' Syarah Muhadzab jilid III. hal. 484-488.
    2. Imam Nawawi dlm Kitab Syarah Muslim Jilid V hal. 84 Bab. Masjid-masjid dan tempat-tempat Shalat.
    3. Al Izz bin Abdis Salam dalam Fatawa hal 46-47 no. 15
    4. Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalany dlm Fathul Bari Jilid II hal. 326.
    5. Kitab Fathul Mu'in (Syaikh Zainuddin bin Abdil Aziz Al Malibari) Jilid III hal. 185-186.
    6. I'anath Thalibin (Sayyid al Bakry ad Dimyathy) Jilid I hal. 185
    7. Ibnu Hajar al Haitamiy dalam Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj Jilid II hal. 104
    8. Ibnu Hajar al Haitamiy dalam Kitab Al Minhaj al Qawim Syarah 'alal Muqaddimah al Hadhramiyah hal. 51-52.
    9. Al Allamah Abdul Hamid asy Syarwany dalam Kitab Hawasyi as Syarwaniy "Ala Tuhfatil Muhtaj bi Syarhil Minhaj Jilid II hal 104.
    10. Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin Jilid I. hal. 358
    11. Imam Nawawi dalam al Azkar hal. 470
    12. Imam Nawawi dalam Syarah Muslim Jilid III hal. 308
    13. Imam Baihaqi dalam Kitab Majmu' Syarah Muhadzab Jilid III hal. 452
    14. Imam Baihaqi dalam Kitab Fathul Mu'in Jiliod I hal. 185
    15. Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalany dalam Fathul Bari Jilid VI hal. 240


    ---------------------------------------------------------------------------------

    Lampiran :


    LAMPIRAN INTRUKSI
    DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM
    NOMOR . KEP / D / 101 / 1978
    TANGGAL . 17 JULI 1978


    T E N T A N G

    TUNTUNAN PENGGUNAAN PENGERAS SUARA DI MASJID,
    LANGGAR DAN MUSHALLA


    Ringkasan isi lampiran ;

    Isi poin 3 dari bagian D halaman 228. Syarat-syarat Penggunaan Pengeras Suara:

    "tidak bolehnya terlalu meninggikan suara do'a, dzikir, dan sholat. Karena pelanggaran hal-hal seperti ini bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan bahwa ummat beragama sendiri tidak menta'ati ajaran agamanya"


    Isi bagian F alinea 1 halaman 229 :

    "ketentuan syari'ah yang melarang bersuara keras dalam sholat dan do'a. sedang dzikir pada dasarnya adalah ibadah individu langsung dengan Allah SWT karena itu tidak perlu menggunakan pengeras suara baik ke dalam atau ke luar."


    Keterangan :
    Dzikir setelah shalat pada dasarnya adalah ibadah individu: (bukan bagian dari Shalat :red)


    Selengkapnya silahkan melihat pada Buku Panduan "Pola Pembinaan Kegiatan Kemasjidan" Diterbitkan oleh Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat, dan Wakaf 1995/1996. !








    Wallahu 'alam.

    Discan oleh Anwar Baru Belajar