Rabu, 02 Maret 2011

Menyorot Kitab 'DALAIL KHAIRAT' Yang Ditulis oleh Muhammad bin Sulaiman al-Juzuli

Bagi warga Indonesia kitab yang ditulis oleh seorang bernama Muhammad bin Sulaiman al-Juzuli (wafat th. 870 H) ini bukanlah hal yang asing lagi, lantaran buku ini merupakan salah satu pegangan pokok dalam ritual terkenal di kalangan mereka yang biasa dikenal dengan “Barjanjian” . Bahkan bukan hanya di Indonesia saja, ternyata telah melanda di belahan dunia. Haji Khalifah berkata dalam Kasyfu Dzunun 1/759: “Kitab ini merupakan tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah tentang shalawat kepada Rasul, biasa dibaca di belahan barat dan timur, terutama Negara Eropa!!!”.

Al-Ustadz Khairuddin al-Wanli mengatakan: “Demi Allah saya bersumpah, tidaklah saya memasuki perpustakan masjid melainkan saya mendapatkan kitab Dalail Khairat agak rusak, karena sering dipergunakan, padahal dalam waktu yang sama saya mendapati mushaf Al-Qur’an penuh dengan debu karena jarang dibuka.
Semua ini karena kedustaan dan janji-janji palsu yang terdapat dalam Dalail bahwa barangsiapa yang membaca ini niscaya akan mendapatkan ini dan itu, shalawat ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan lain sebagainya dari kedustaan yang diterima oleh masyarakat dengan amat mudah. Oleh karenanya mereka begitu antusias dalam membacanya dan merasa bahwa mereka mendekatkan diri kepada Allah!!

Dalam muqaddimahnya dicantumkan ucapan seorang diantara mereka:

وَإِذَا رَأَيْتَ النَّفْسَ مِنْكَ تَحَكَّمَتْ وَغَدَتْ تَقُوْدُكَ فِيْ لَظَى الشَّهَوَاتِ

فَاصْرِفْ هَوَاهَا بِالصَّلاَةِ مُوَاظِبًا لاَ سِيَّمَا بِ "دَلاَئِلِ الْخَيْرَاتِ" !!

Apabila engkau melihat hawa nafsumu memuncak

Dan ingin menyeretmu ke jeratan syahwat

Maka paligkanlah dengan banyak shalawat

Terutama dengan “Dalail Khairat”!!.

Seandainya seorang yang berakal mau merenungi isinya, niscaya dia akan berpaling darinya dan melarang manusia untuk membacanya karena memang kitab tersebut sarat dengan kedustaan, kesyirikan dan kesesatan, serta dia akan berusaha untuk mengeluarkan kitab-kitab ini dari rumah-rumah Allah”.

Uraian singkat berikut ini mencoba untuk memberikan beberapa bukti sebagai gambaran tentang isi kitab tersebut. Kita berdoa kepada Allah agar memberikan kepada kita semua hidayah dan menetapkan kita di atasnya:

1. Shalawat Dibuat-Buat

Dalam pembukaannya hal. 2, al-Juzuli mengatakan: “Tujuan penulisan kitab ini adalah memaparkan shalawat kepada Nabi dan keutamaan-keutamaannya. Kami menyebutkannya dengan membuang sanadnya agar mudah dihafal oleh pembaca. Hal itu merupakan suatu yang sangat penting sekali bagi orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah”.

Penulis ingin memberikan opini bahwa shalawat-shalawat yang dia utarakan terdapat dalam hadits-hadits yang shahih, padahal ternyata kebanyakannya adalah dusta, palsu dan tidak ada asalnya dalam agama, isinya juga sarat memuat lafadz-lafadz kesyirikan dan kebid’ahan yang seharusnya tidak muncul dari seorang yang sedikit saja memahami agama Islam!! Bahkan bukan hanya itu saja, penulis malah berani membuat-buat hadits palsu tentang keutamaan shalawat-shalawatnya dan menyandarkannya kepada Rasulullah, seperti pada hal. 111:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ قَرَأَ هَذِهِ الصَّلاَةَ مَرَّةً كَتَبَ اللهًُ لَهُ ثَوَابَ حَجَّةٍ مَقْبُوْلَةٍ وَثَوَابَ مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa membaca shalawat ini satu kali, maka Allah akan menilainya seperti pahala haji yang diterima dan pahala orang yang memerdekakan budak dari keturunan Ismail”.

Lebih ngeri lagi, penulis nekat memberanikan diri membuat hadits-hadits qudsi seperti pada hal. 111:

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : يَا مَلاَئِكَتِيْ! هَذَا عَبْدٌ مِنْ عِبَادِيْ أَكْثَرَ الصَّلاَةَ عَلَى حَبِيْبِيْ ... لأُعْطِيَنَّهُ بِكُلِّ حَرْفٍ صَلَّى قَصْرًا فِي الْجَنَّةِ

Allah berfirman: “Wahai para Malaikatku! Ini adalah hamba dari hambaku yang memperbanyak shalawat kepada kekasihku… Saya akan memberinya pada setiap huruf shalawat sebuah istana di surga…”.

Cukuplah sebagai dosa dan teguran apa yang disabdakan oleh Nabi dalam haditsnya yang mutawatir:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berdusta padaku dengan sengaja, maka hendaknya dia bersiap-siap mengambil tempat duduknya di Neraka”.

2. Meminta Pertolongan Kepada Nabi Yang Telah Wafat

Dalam pembukaannya, al-Juzuli mengatakan tentang Nabi:

مُسْتَمِدَّا مِنْ حَضْرَتِهِ

“Kita meminta bantuan kepada beliau”.

Sungguh ini adalah suatu kesyirikan yang nyata, sebab meminta bantuan tidak boleh kecuali hanya kepada Allah semata, berdasarkan firmanNya:

(ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut".(QS. Al-Anfal: 9)

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. (QS. Al-Fatihah: 5)

Nabi sendiri apabila tertimpa kesulitan maka beliau bersungguh-sungguh dalam doa seraya mengatakan:

“Wahai Dzat Yang Hidup dan Kuat, dengan rahmatMu aku memohon pertolongan”. (HR. Tirmidzi 3524)

3. Memberi Nama dan Sifat Yang Tidak Pantas

Al-Juzuli menyebutkan nama-nama Nabi lebih dari dua ratus nama, diantaranya:

Muhyi (yang menghidupkan), Munji (penyelamat), Nashir (penolong), Mad’u (yang dimintai doa), Mujib (yang mengabulkan doa), Qawiyyun (yang maha kuat), Syaafii (penyembuh), Kasyiful Kurab (penghilang segala petaka)…!!

Sebagaimana dimaklumi dalam agama Islam bahwa orang yang memberikan nama-nama seperti ini kepada selain Allah berarti dia di ambang pintu bahaya. Allah berfirman:

Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya[586]. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang Telah mereka kerjakan. (QS. Al-A’raf: 180)

Bukan hanya itu saja, al-Juzuli kemudian memberikan nama-nama Nabi yang dibuat-buat sendiri seperti Yasin, Thoha, dan lain sebagainya. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata: “Adapun apa yang disebutkan oleh orang-orang awam bahwa Yasin dan Thoha termasuk nama-nama Nabi maka hal itu tidak benar, tidak terdapat dalam hadits yang shahih, hasan, mursal ataupun atsar dari sahabat. Huruf-huruf ini adalah seperti Alif Lam Mim, Ha’ Mim, Alif Lam Ra dan sejenisnya”. (Tuhfatul Maudud hal. 109).

4. Khurafat Sufi

Sangat nampak sekali dari buku ini bahwa al-Juzuli seorang Sufi tulen yang mengumpulkan beberapa bencana dalam kitabnya dari tokoh-tokoh Sufi sebelumnya seperti Ibnu Arabi, Syadzili dan selainnya. Diantara khurafat popular Sufi adalah aqidah mereka bahwa Nabi diciptakan dari cahaya. Oleh karenanya, al-Juzuli mengatakan:

اللَّهُمَّ زِدْهُ نُوْرًا عَلَى نُوْرِهِ الَّذِيْ خَلَقْتَهُ مِنْهُ

“Ya Allah, tambahkanlah dia cahaya di atas cahaya yang telah Engkau ciptakan”.

Sungguh, aqidah ini sangat bertentangan sekali dengan firman Allah:

Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".(QS. Al-Kahfi: 110)

Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Adapun ucapan sebagian manusia, ahli khurafat dan orang-orang Sufi bahwa Nabi diciptakan dari cahaya dan makhulk pertama adalah cahaya Muhammad, semua ini adalah tidak ada asalnya, ucapan batil dan kedustaan belaka”. (Fatawa Nur Ala Darb 1/112-113).

5. Aqidah Wahdatul Wujud dan Melecehkan Tauhid

Dalam shalawat Masyisyiyah, hal. 28-29 al-Juzuli mengatakan:

اللَّهُمَّ زُجَّ بِيْ فِيْ بِحَارِ الأَحَدِيَّةِ وَانْشُلْنِيْ مِنْ أَوْحَالِ التَّوْحِيْدِ وَأَغْرِقْنِيْ فِيْ عَيْنِ بَحْرِ الْوَحْدَة ِحَتَّى لاَ أَرَى وَلاَ أَسْمَعَ وَلاَ أُحِسَّ إِلاَّ بِهَا

“Ya Allah! Tenggelamkanlah aku dalam lautan ahadiyah (wahdatul wujud), dan selamatkanlah aku dari lumuran lumpur tauhid, tenggelamkanlah aku dalam lautan wahdah sehingga aku tidak melihat, mendengar dan merasakan kecuali dengannya…”.

Perhatikanlah, bagaimana dia mensifati tauhid yang merupakan dakwah para rasul semenjak pertama hingga terakhir sebagai lumuran lumpur dan berdoa agar tenggelam dalam aqidah wahdatul wujud (Manunggaling Kawula Lan gusti), suatu aqidah yang sesat dan menyesatkan . Hanya kepada Allah, kita meminta perlindungan dari kehinaan dan kesesatan!!.

Demikianlah beberapa contoh petaka yang terdapat dalam buku Dalail Khairat. Kita berdoa kepada Allah agar menampakkan kepada kita kebenaran untuk kita ikuti dan menampakkan kebatilan agar kita jauhi. Dan shalawat serta salam bagi Nabi dan kekasih kita, Muhammad bin Abdillah berserta ara keluarganya.

Oleh: Ust Abu Ubaidah

Sumber:

http://addimaki.blogspot.com/2009/11/menyorot-kitab-dalailul-khairat.html

__________________________________________



Hukum Membaca Dalail Khairat

Soal:
Bagaimana hukum membaca kitab Dalailul Khairat karangan Imam Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli yang di dalamnya banyak doa-doa tawasul kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, misalnya; “Wahai Muhammad Rasulullah kami bertawasul dengan-mu kepada Tuhan-mu, maka berilah kami syafaat…”

Jawab:
Jika keadaanya seperti yang anda sampaikan yakni menyibukkan diri dengan mewiridkan kitab tersebut yang mengandung tawasul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memohon syafaat dengannya kepada Allah Ta’ala maka tidak boleh membaca kitab tersebut. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

قل لله الشفاعة جميعا

“Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.” (QS. Azzumar : 44)

من ذا الذي يشفع عنده إلا بإذنه

Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. (QS. Al-Baqarah: 255)

أم اتخذوا من دون الله شفعاء قل أولو كانوا لا يملكون شيئا ولا يعقلون

Bahkan mereka mengambil pemberi syafa’at selain Allah. Katakanlah: “Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatupun dan tidak berakal?” (QS. Azzumar: 43)

Jadi seharusnya kita mencukupi dengan membaca Kitabullah (al-Quran) dan Dzikir-dzikir dari hadits Nabi yang shohih, dari pada membaca kitab tersebut (Dalail Khairat) dan kitab-kitab yang serupa dengannya (mengandung tawasul).

Dan banyak kitab-kitab yang bisa anda dapati yang menyebutkan dzikir-dzikir dari hadits-hadits yang shohih seperti; Al-Adzkar dan Riyadhus Sholihin yang disusun oleh Imam Nawawi, Al-Kalam At-Thayyib oleh Ibnu Taimiyah, Al-Wabil As-Shoyyib oleh Ibnul Qayyim serta banyak lagi yang lain yang disusun oleh para ulama Ahlussunah.

Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta, No. 8879

Keterangan Tambahan

Masalah Kitab Dalail al-Khairat

Nahdlatul Ulama, baik secara perorangan kiyai-kiyainya maupun secara organisasi, dalam sejarahnya telah dengan gigih mempertahankan wiridan dengan membaca Kitab Dalail al-Khairat. ”Perjuangan” mereka itu bukan hanya di Indonesia di depan kalangan kaum pembaharu, namun bahkan sampai ke Raja Saudi dengan jalan mengirimkan surat yang di antara isinya mempertahankan wiridan dari kitab karangan orang mistik./ shufi dari Afrika Utara, Al-Jazuli itu. Meskipun demikian, kaum pembaharu di Indonesia tidak menggubris upaya-upaya kaum Nahdliyin/ NU itu. Demikian pula Raja Saudi tidak menjawabnya secara khusus tentang Kitab Dalail al-Khairat itu.

Untuk memudahkan pembaca, maka di sini diturunkan fatwa tentang boleh tidaknya membaca atau mewiridkan Kitab Dalail al-Khairat itu dari Lajnah Daimah kantor Penelitian Ilmiyah dan Fatwa di Riyadh. Ada pertanyaan dan kemudian ada pula jawabannya, dikutip sebagai berikut:

Soal kelima dari Fatwa nomor 2392:

Soal: Apa hukum wirid-wirid auliya’ (para wali) dan shalihin (orang-orang shalih) seperti mazhab Qadyaniyah dan Tijaniyah dan lainnya? Apakah boleh memeganginya ataukah tidak, dan apa hukum Kitab Dalail al-Khairat?

Jawab: Pertama: Telah terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits nash-nash (teks) yang mengandung do’a-do’a dan dzikir-dzikir masyru’ah (yang disyari’atkan). Dan sebagian ulama telah mengumpulkan satu kumpulan do’a dan dzikir itu, seperti An-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar , Ibnu as-Sunni dalam Kitab ‘Amalul Yaum wallailah, dan Ibnul Qayyim dalam Kitab Al-Wabil As-Shoib, dan kitab-kitab sunnah yang mengandung bab-bab khusus untuk do’a-do’a dan dzikir-dzikir, maka wajib bagimu merujuk padanya.

Kedua: Auliya’ (para wali) yang shalih adalah wali-wali Allah yang mengikuti syari’at-Nya baik secara ucapan, perbuatan, maupun i’tikad (keyakinan). Dan adapun kelompok-kelompok sesat seperti At-Tijaniyyah maka mereka itu bukanlah termasuk auliya’ullah (para wali Allah). Tetapi mereka termasuk auliya’us syaithan (para wali syetan). Dan kami nasihatkan kamu membaca kitab Al-Furqon baina auliya’ir Rahman wa Auliya’is Syaithan, dan Kitab Iqtidhous Shirothil Mustaqiem Limukholafati Ash-habil Jahiem, keduanya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Ketiga: Dari hal yang telah dikemukakan itu jelas bahwa tidak boleh bagi seorang muslim mengambil wirid-wirid mereka dan menjadikannya suatu wiridan baginya, tetapi cukup atasnya dengan yang telah disyari’atkan yaitu yang telah ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Keempat: Adapun Kitab Dalail al-Khairat maka kami nasihatkan anda untuk meninggalkannya, karena di dalamnya mengandung perkara-perkara al-mubtada’ah was-syirkiyah (bid’ah dan kemusyrikan). Sedangkan yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terkaya darinya (tidak butuh dengan bid’ah dan kemusyrikan yang ada di dalam Kitab Dalail Al-Khairat itu).

Wabillahit taufiq. Washollallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad, wa alihi washohbihi wasallam.

Al-Lajnah Ad-Da’imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’:

Ketua Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota Abdullah bin Ghadyan, anggota Abdullah bin Qu’ud.

Dalam Kitab Dalail al-Khairat di antaranya ada shalawat bid’ah sebagai berikut:

اللهم صل على محمد حتى لايبقى من الصلاة شيء وارحم محمدا حتى لايبقى من الرحمة شيء

“Ya Allah limpahkanlah keberkahan atas Muhammad, sehingga tak tersisa lagi sedikitpun dari keberkahan, dan rahmatilah Muhammad, sehingga tak tersisa sedikitpun dari rahmat.”

Lafadh bacaan shalawat dalam Kitab Dalail Al-Khairat di atas menjadikan keberkahan dan rahmat, yang keduanya merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, bisa habis dan binasa. Ucapan mereka itu telah terbantah oleh firman Allah:

“Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Al-Kahfi: 109).

Dari kenyataan usulan resmi NU kepada Raja Saudi Arabia yang ingin agar tetap dibolehkan membaca dzikir dan wiridan yang diamalkan oleh sebagian orang NU di antaranya do’a-do’a dalam Kitab Dalailul Khiarat (tentunya termasuk pula dzikir-dzikir aneka aliran thariqat/ tarekat), dan kenyataan fatwa ulama resmi Saudi Arabia, maka sangat bertentangan. NU menginginkan untuk dilestarikan dan dilindungi. Sedang ulama Saudi menginginkan agar ditinggalkan, karena mengandung bid’ah dan kemusyrikan, sedang penganjurnya yang disebut syaikh pun digolongkan wali syetan. Hanya saja kasusnya telah diputar sedemikian rupa, sehingga balasan surat Raja Saudi Arabia yang otentiknya seperti tercantum di atas, telah dimaknakan secara versi NU yang seolah misi NU itu sukses dalam hal direstui untuk mengembangkan hal-hal yang NU maui. Hingga surat Raja Saudi itu seolah jadi alat ampuh untuk menggencarkan apa yang oleh ulama Saudi disebut sebagai bid’ah dan kemusyrikan.

Di antara buktinya, bisa dilihat ungkapan yang ditulis tokoh NU, KH Saifuddin Zuhri sebagai berikut:

“Misi Kyai ‘Abdul Wahab Hasbullah ke Makkah mencapai hasil sangat memuaskan. Raja Ibnu Sa’ud berjanji, bahwa pelaksanaan dari ajaran madzhab Empat dan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada umumnya memperoleh perlindungan hukum di seluruh daerah kerajaan Arab Saudi. Siapa saja bebas mengembangkan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah ajaran yang dikembangkan oleh Empat Madzhab, dan siapa saja bebas mengajarkannya di Masjidil Haram di Makkah, di Masjid Nabawi di Madinah dan di manapun di seluruh daerah kerajaan.

Apa yang disebut hasil sangat memuaskan, dan bebasnya mengembangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itulah yang dipasarkan oleh NU di masyarakat dengan versinya sendiri. Sebagaimana pengakuan Abdurrahman Wahid, didirikannya NU itu untuk wadah berorganisasi dan mengamalkan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri. Versinya sendiri yaitu yang memperjuangkan lestarinya tradisi mereka di antaranya yang telah diusulkan dengan nyata-nyata bukan hanya di dalam negeri tetapi sampai di Saudi Arabia yaitu pengamalan wirid Kitab Dalail Al-Khairat dan dzikir-dzikir lainnya model NU di antaranya tarekat-tarekat. Akibatnya, sekalipun ulama Saudi Arabia secara resmi mengecam amalan-amalan yang diusulkan itu ditegaskan sebagai amalan yang termasuk bid’ah dan kemusyrikan, namun di dalam negeri Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya. Seakan amalan-amalan itu telah mendapatkan “restu” akibat penyampaian-penyampaian kepada ummat Islam di Indonesia yang telah dibikin sedemikian rupa (bahwa misi utusan NU ke Makkah sukses besar dan direstui bebas untuk mengamalkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah) sehingga amalan-amalan itu semakin dikembangkan dan dikokohkan secara organisatoris dalam NU. Bahkan secara resmi NU punya lembaga bernama Tarekat Mu’tabarah Nahdliyin didirikan 10 Oktober 1957 sebagai tindak lanjut keputusan Muktamar NU 1957 di Magelang. Belakangan dalam Muktamar NU 1979 di Semarang ditambahkan kata Nahdliyin, untuk menegaskan bahwa badan ini tetap berafiliasi kepada NU.

Setelah bisa ditelusuri jejaknya dari semula hingga langkah-langkah selanjutnya, maka tampaklah apa yang mereka upayakan –dalam hal ini didirikannya NU itu untuk apa– itu sebenarnya adalah untuk melestarikan dan melindungi amalan-amalan yang menjadi bidikan kaum pembaharu ataupun Muslimin yang konsekuen dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tanpa adanya organisasi yang menjadi tempat berkumpul dan tempat berupaya bersama-sama secara maju bersama, maka amalan mereka yang selalu jadi sasaran bidik para pembaharu yang memurnikan Islam dari aneka bid’ah, khurafat, takhayul, dan bahkan kemusyrikan itu akan segera bisa dilenyapkan bagai lenyapnya kepercayaan Animisme yang sulit dikembang suburkan lagi. Menyadari akan sulitnya dan terancamnya posisi mereka ini baik di dalam negeri maupun di luar negeri terutama ancaman dari Saudi Arabia, maka mereka secara sukarela lebih merasa aman untuk bergandeng tangan dengan kafirin dan musyrikin, baik itu kafirin Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, maupun kafirin anti Kitab yaitu PKI (Komunis) dan anak cucunya, serta musyrikin yaitu Kong Hucu, Hindu, Budha; dan Munafiqin serta kelompok nasionalis sekuler anti syari’at Islam ataupun kelompok kiri anti Islam.

Untuk itulah dia lahir atau dilahirkan, sepanjang data dan fakta yang bisa dilihat dan dibuktikan, namun bukan berarti hanya untuk itu saja. Bagaimana pula kalau ini justru dijadikan alat oleh musuh Islam untuk kepentingan mereka?

Selengkapnya baca di sini;
http://ainuamri.wordpress.com/2007/10/18/didirikannya-nu-untuk-apa/