Mungkin sangat sedikit orang yang memiliki buku ini. Namun kalau anda ingin meluangkan waktu, silahkan anda berkunjung ke perpustakaan-perpustakaan yang ada, insyaAlllah anda menemukannya di sana. Saya (penulis) hanya mengkritisi apa yang tertulis dalam buku tersebut, bukan mengkritisi PKS sebagai sebuah instsitusi, sebuah partai atau sebuah apalah lainnya.
Sebagaimana lazimnya sebuah buku tentunya bisa saja mengandung kesalahan, walaupun sebagian besar isinya mengandung kebenaran. Maksud saya menulis tentang masalah ini hanyalah mengkritisi apa yang tertulis di dalam buku saja, bukan kepada institusi, lembaga atau oknum tertentu.
Tertulis pada halaman 78 - 80 di buku Fatwa-fatwa Dewan Syariah Partai Keadilan Sejahtera, yang diterbitkan oleh Harakatuna Publishing pada bulan April 2006, dicetak oleh percetakan Syaamil Cipta Media, Bandung. (keterangan di bawah ini dikutib sesuai dengan isi asli pada buku tersebut : red)
Sebagaimana lazimnya sebuah buku tentunya bisa saja mengandung kesalahan, walaupun sebagian besar isinya mengandung kebenaran. Maksud saya menulis tentang masalah ini hanyalah mengkritisi apa yang tertulis di dalam buku saja, bukan kepada institusi, lembaga atau oknum tertentu.
Tertulis pada halaman 78 - 80 di buku Fatwa-fatwa Dewan Syariah Partai Keadilan Sejahtera, yang diterbitkan oleh Harakatuna Publishing pada bulan April 2006, dicetak oleh percetakan Syaamil Cipta Media, Bandung. (keterangan di bawah ini dikutib sesuai dengan isi asli pada buku tersebut : red)
a. Bayan
Menyikapi berbagai masalah khilafiyah, termasuk masalah bid'ah yang diperselisihkan, Dewan Syariah mengeluarkan Bayan sebagai berikut.
1. Bid'ah Idhafiyah adalah setiap amalan ibadah yang pada prinsipnya disyariatkan, tetapi berbeda dalam tata cara pengamalannya. Jika dalil yang digunakan ada hubungan dengan tata cara tersebut, tidak disebut bid'ah. Akan tetapi, jika dalil yang digunakan tidak ada hubungannya dengan tata cara ibadah yang dilakukan disebut bid'ah Idhafiyah yang diperselisihkan ulama.
1. Bid'ah Idhafiyah adalah setiap amalan ibadah yang pada prinsipnya disyariatkan, tetapi berbeda dalam tata cara pengamalannya. Jika dalil yang digunakan ada hubungan dengan tata cara tersebut, tidak disebut bid'ah. Akan tetapi, jika dalil yang digunakan tidak ada hubungannya dengan tata cara ibadah yang dilakukan disebut bid'ah Idhafiyah yang diperselisihkan ulama.
Beberapa contoh.
2. Iltizam Fil Ibadah Al Mutlaqah, yaitu seorang muslim iltizam atau terus menerus melakukan beribadah tertentu dan memiliki landasan syariatnya. Akan tetapi, ada penentuan tempat, waktu, dan jumlah tertentu serta berulang-ulang, sesuatu yang tidak dicontohkan Rasul saw.
3. Bid'ah Tarkiyah, yaitu meninggalkan suatu amalan yang dibolehkan dan disunahkan. Berkata Imam Syatibi: At tark (meninggalkan amalan tertentu) adalah pekerjaan yang masuk pada pilihan seseorang, sehingga dapat dikatakan sebagai ketaatan atau kemaksiatan, jika itu adalah pilihan pelakunya. Maka bid'ah sebagaimana tercerminkan dengan melakukan amalan, begitu juga termasuk bid'ah meninggalkan amalan, begitu juga termasuk bid'ah meninggalkan amalan, jika keduanya menyimpang dari sunah.
Beberapa contoh.
4. Segala sesuatu yang diperselisihkan para ulama dan memiliki landasan hukum, baik secara khusus maupun umum, bukanlah bid'ah yang sesat. Akan tetapi, masalah khilafiyah. Sehingga perbedaan ini tidak menimbulkan perpecahan dan merusak ukhuwah Islamiyah.
Beberapa contoh.
5. Hendaknya umat Islam tidak cepat memvonis segala sesuatu yang dilakukan masyarakat dan tidak ada contohnya dari Rasulullah saw., dengan bid'ah yang sesat. Karena para ulama menyebutkan bahwa bid'ah memiliki berbagai macam tingkatan dan tidak memiliki status hukum yang sama. Berkata Ibnu Hazm, "Bid'ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak ada dalam Al Quran dan sunah Rasulullah saw. Akan tetapi, ada yang pelaku bid'ah mendapat pahala dan dimaafkan karena tujuannya baik. Di antara bid'ah ada yang baik, yaitu sesuatu yang asli hukumnya mubah, sebagaimana yang diungkapkan Umar bin Khatab ketika mengumpulkan manusia untuk shalat Tarawih berjamaah dan beliau berkata, "Bid'ah yang baik adalah ini." Dan di antaranya ada yang tercela dan tidak dimaafkan pelakuknya, yaitu sesuatu yang terbukti ada kerusakannya.
6. Hukum melakukan bid'ah ada yang sesat dan dosa besar, ada yang haram, ada yang makruh bahkan ada yang dibolehkan. Imam Syafi'I membagi bid'ah menjadi dua, yaitu bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah sayi'ah (buruk). Berkata Harmalah bin Yahya, saya mendengar Imam Syafi'I berkata, "Bid'ah ada dua, bid'ah mahmudah (terpuji) dan bid'ah madzmumah (tercela). "Sesuatu yang sesuai dengan sunah adalah terpuji dan sesuatu yang menyimpang dari sunah adalah tercela.
7.Bagi para dai dibolehkan melakukan dan mendatangi acara yang masih diperselisihkan para ulama, seperti tahlilan dan Maulid Nabi saw. Dan berupaya sedapat mungkin memperbaiki tata caranya.
8. Bagi para dai harus tegas menolak dan meninggalkan segala perbuatan yang jelas-jelas merupakan bid'ah yang sesat, seperti ruwatan dan komitmen dengan sunah Rasulullah saw..
b. Khatimah
Demikianlah jawaban ini sebagai suatu Bayan Dewan Syariah Partai Keadilan. Bayan ini dikeluarkan untuk menjadi Panduan bagi kader dalam menyikapi masalah khilafiyah di tengah masyarakat Muslim, dengan semangat ukhuwah dan tasamuh. Wallahu a'lam.
____________________
Kerancuan lainnya, pada halaman 59-60 di buku tersebut disebutkan :
f. Kesimpulan Hukum Tahlilan
g. Sikap Dai terhadap Tahlilan yang Dilestarikan Mayoritas Masyarakat
Jika mengikutinya dengan maksud membawa misi perbaikan dan amar ma'ruf nahi munkar dengan bijak, mengubah sisa-sisa jahiliyah menjadi Islam, maka hal itu tugas mulia bagi setiap Muslim terutama dai. Namun jika tidak, berarti menyetujui bahkan melegitimasi perbuatan itu. Hal itu sangat tercela dalam Islam.
h. Solusi
___________________________________
Tanggapan :
Di dalam buku tersebut diakui bahwa :
Tahlilan hari pertama, ketiga, ketujuh, ke-40, ke 100, haul (ulang tahun kematian), dan ke 1000 adalah sisa-sisa agama Animisme, Hindu, dan Budha yang dibawa oleh pemeluk agama Islam dari kalangan mereka.
Hanya saja solusi yang ditawarkan rancu :
Mengubah hari-hari yang ditentukan oleh Animisme, Hindu, dan Budha-1,3,7,40,100, 1 tahun, 1000 hari-menjadi hari lainnya, hari libur Jumat atau lainnya. Yang penting, tidak terfokus hari tertentu seakan-akan ketentuan agama.
Hasil ijtihad kalau karena benar-benar tidak tahu berbeda dengan orang yang telah mengetahui hukum suatu perkara.
Berkata As-Syaikh Al-Allamah Muhammad ibn Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Al-Qoulul Mufid jilid. 1 hal 385
Sesungguhnya bid’ah itu jelek meskipun pelakunya bermaksud baik. Dan dia berdosa apabila tahu bahwa apa yang dikerjakannya adalah bid’ah meskipun niatnya baik. Karena dia telah mendahulukan maksiat. Sebagaimana orang jika menghalalkan berdusta dan menipu dengan dalih adanya kemaslahatan. Adapun apabila dia jahil (bodoh/ tidak tahu) maka dia berdosa. Karena semua maksiat tidaklah dikenai dosa kecuali dia mengetahuinya (bahwa itu maksiat). Dan akan diberi pahala atas niat baiknya. Yang demikian ini telah menjelaskannya Syaikhul Islam Ibnu taimiyah dalam kitabnya “Majmu Fatwa" jilid 20. Maka diganjar dengan pahala atas niatnya bukan atas amalannya. Amalnya ini tidak benar dan tidak diterima disisi Allah dan tidak pula diridhoi,akan tetapi terhadap niat baiknya yang disertai ketidaktahuannya tersebut tetap di beri pahala. Berkata Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam terhadap seseorang yang sholat dengan (tayamum) kemudian mengulangi wudhu setelah menemukan air dan mengulangi sholatnya :“Lakal ajru marrotaini” (bagi mu dua pahala). Ini karena niat baiknya, dan karena amalannya pada asalnya adalah amalan sholeh, akan tetapi jika seseorang mengerjakan amal tadi dua kali padahal tahu bahwa itu tidak disyariatkan , maka tidak berpahala baginya karena ini menyelisihi sunnah. Oleh karenanya terhadap orang yang tidak mengulangi wudhunya, Rasulullah mengatakan “anda mendapatkan sunnah”.
Hal ini memang benar dipahami juga demikian oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa Jilid. 20
Dalam konteks ini, pahala itu bagi yang berittiba’ dengan al-haq sesuai ijtihadnya.Meskipun dalam batinnya mengingkarinya, maka yang demikian lebih utama untuk berittiba’ jika ditakdirkan mengetahuinya. Tapi jika tak mengetahuinya, maka kedudukannya seperti orang berijtihad dalam menentukan arah kiblat.
Dan demikian semua yang beribadah dengan ibadah yang pada hakikatnya terlarang (tetapi asal ibadahnya tersebut diperintahkan) namun dia tidak tahu, seperti misalnya orang yang sholat diwaktu-waktu yang diharamkan. (Atau bisa saja) telah sampai kepadanya perintah sholat secara umum, tapi tidak tahu akan adanya larangan tersebut. Atau dia berpegang pada dalil khusus yang lemah, semisal sholatnya sebagian salaf dua rokaat setelah ashar dengan alasan Nabi melakukannya maka yang seperti ini apabila masuk pada keumuman disukainya sholat tetapi belum sampai kepadanya larangan tersebut meskipun itu bid’ah yang dijadikan syiar dan dilakukan tiap tahun. Maka kesalahan ini dimaafkan dan diganjar pahala dari jenis amal yang disyariatkan (sholatnya tadi). Dan demikian juga semisal berpuasanya seseorang dihari raya,karena ketidaktahuan akan adanya larangan.Ini berbeda semisal kesyirikan yang memang pada asalnya nya perbuatannya syirik ini tidak disyariatkan,maka tidak akan diberi pahala meskipun Allah tidak akan mengadzab pelakunya kecuali telah sampai risalah kepadanya sebagaimana firman Allah:“Tidaklah kami mengadzab kecuali telah kami utus Rasul”. Akan tetapi meskipun tidak di adzab apalagi diberi pahala, keadaannya amalnya ini sebagaimana di firmankan Allah:“Dan kami hadirkan kepada apa yang telah diamalkannya maka kami jadikan bagai debu berterbangan”.
Kesimpulannya adalah;
MENGUBAH SUATU ke-BID'AH-an, TETAPI MEMBUAT BID'AH BARU.
Dan fakta di lapangan malah banyak para da'i yang larut dalam tradisi ini dan tidak dapat merubahnya. Bahkan mugkin ada sebagian yang memimpin tahlilan (selamatan kematian), karena pertimbangan takut tidak mendapat simpatik, yang berakibat berkurangnya masa pendukung Partai Politik. Dan yang paling penting lagi bahwa bayan ini dikeluarkan untuk menjadi Panduan bagi kader di tengah masyarakat Muslim. Wallahu a'lam.
____________________________
*Shalawat atas Nabi saw. Setelah azan langsung dengan dilagu-lagukan dan suara yang dibuat-buat. Dari segi shalawat dianjurkan, tetapi dari segi suara yang dibuat-buat dan dilagu-lagukan tidak ada contohnya.
*Membaca surat Yaa-Siin di malam Jumat bersama-sama.
*Membaca ma'tsurat dan doa rabithah dengan pola tertentu yang dibakukan. Mengapa? Karena doa yang dibaca adalah disyariatkan, sedangkan urutannya tidak ada contohnya.
*Membaca zikir dan doa setelah shalat wajib dengan berjamaah dan bersuara keras.
*Shalat Tarawih dilakukan secara berjama'ah.
2. Iltizam Fil Ibadah Al Mutlaqah, yaitu seorang muslim iltizam atau terus menerus melakukan beribadah tertentu dan memiliki landasan syariatnya. Akan tetapi, ada penentuan tempat, waktu, dan jumlah tertentu serta berulang-ulang, sesuatu yang tidak dicontohkan Rasul saw.
*Membaca surat Al Ikhlas seratus kali setelah shalat shubuh atau waktu tertentu.
*Membaca tahlil, tahmid, tasbih, dan takbir dengan jumlah tertentu, waktu, dan tempat tertentu.
*Ziarah kubur pada hari tertentu.
*Mencintai Rasulullah saw. Dengan melakukan upacara maulid Nabi saw, dan menceritakan sirahnya.
*Melakukan aktivitas muhasabah secara berjamaah di masjid di hari dan kegiatan tertentu.
3. Bid'ah Tarkiyah, yaitu meninggalkan suatu amalan yang dibolehkan dan disunahkan. Berkata Imam Syatibi: At tark (meninggalkan amalan tertentu) adalah pekerjaan yang masuk pada pilihan seseorang, sehingga dapat dikatakan sebagai ketaatan atau kemaksiatan, jika itu adalah pilihan pelakunya. Maka bid'ah sebagaimana tercerminkan dengan melakukan amalan, begitu juga termasuk bid'ah meninggalkan amalan, begitu juga termasuk bid'ah meninggalkan amalan, jika keduanya menyimpang dari sunah.
Beberapa contoh.
*Meninggalkan sesuatu yang mubah tanpa alasan yang benar.
*Meninggalkan nikah karena ingin mendekatkan diri kepada Allah.
*Meninggalkan shalat jamaah di masjid karena imam dianggap ahli bid'ah.
4. Segala sesuatu yang diperselisihkan para ulama dan memiliki landasan hukum, baik secara khusus maupun umum, bukanlah bid'ah yang sesat. Akan tetapi, masalah khilafiyah. Sehingga perbedaan ini tidak menimbulkan perpecahan dan merusak ukhuwah Islamiyah.
Beberapa contoh.
*Melakukan qunut di shalat Shubuh.
*Memberikan hadiah bacaan surat Al Quran kepada mayit.
*Tawasul kepada jaah (kemuliaan) Nabi Muhammad saw.
5. Hendaknya umat Islam tidak cepat memvonis segala sesuatu yang dilakukan masyarakat dan tidak ada contohnya dari Rasulullah saw., dengan bid'ah yang sesat. Karena para ulama menyebutkan bahwa bid'ah memiliki berbagai macam tingkatan dan tidak memiliki status hukum yang sama. Berkata Ibnu Hazm, "Bid'ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak ada dalam Al Quran dan sunah Rasulullah saw. Akan tetapi, ada yang pelaku bid'ah mendapat pahala dan dimaafkan karena tujuannya baik. Di antara bid'ah ada yang baik, yaitu sesuatu yang asli hukumnya mubah, sebagaimana yang diungkapkan Umar bin Khatab ketika mengumpulkan manusia untuk shalat Tarawih berjamaah dan beliau berkata, "Bid'ah yang baik adalah ini." Dan di antaranya ada yang tercela dan tidak dimaafkan pelakuknya, yaitu sesuatu yang terbukti ada kerusakannya.
6. Hukum melakukan bid'ah ada yang sesat dan dosa besar, ada yang haram, ada yang makruh bahkan ada yang dibolehkan. Imam Syafi'I membagi bid'ah menjadi dua, yaitu bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah sayi'ah (buruk). Berkata Harmalah bin Yahya, saya mendengar Imam Syafi'I berkata, "Bid'ah ada dua, bid'ah mahmudah (terpuji) dan bid'ah madzmumah (tercela). "Sesuatu yang sesuai dengan sunah adalah terpuji dan sesuatu yang menyimpang dari sunah adalah tercela.
7.Bagi para dai dibolehkan melakukan dan mendatangi acara yang masih diperselisihkan para ulama, seperti tahlilan dan Maulid Nabi saw. Dan berupaya sedapat mungkin memperbaiki tata caranya.
8. Bagi para dai harus tegas menolak dan meninggalkan segala perbuatan yang jelas-jelas merupakan bid'ah yang sesat, seperti ruwatan dan komitmen dengan sunah Rasulullah saw..
b. Khatimah
Demikianlah jawaban ini sebagai suatu Bayan Dewan Syariah Partai Keadilan. Bayan ini dikeluarkan untuk menjadi Panduan bagi kader dalam menyikapi masalah khilafiyah di tengah masyarakat Muslim, dengan semangat ukhuwah dan tasamuh. Wallahu a'lam.
____________________
Kerancuan lainnya, pada halaman 59-60 di buku tersebut disebutkan :
f. Kesimpulan Hukum Tahlilan
*Ditinjau dari segi bacaan.Ayat-ayat suci Al Qur'an, tahlil, tahmid, takbir, tasbih, shalawat, doa, semua itu sangat dianjurkan oleh Islam untuk membacanya.
*Ditinjau dari sisi hidangan yang disediakan oleh keluarga mayit, bertentangan dengan hadits,
a. Ja'far bin Abi Thalibb.
b. Maqasid Syari'ah. Islam selalu menganjurkan untuk peduli dan membantu orang yang sedang susah. Namun realitanya, orang yang kena musibah memberi bantuan kepada orang yang tidak kena musibah.
c. Banyak orang miskin memaksakan diri untuk menyediakan hidangan sekalipun dengan hutang.
*Ditinjau dari sisi waktu.Tahlilan hari pertama, ketiga, ketujuh, ke-40, ke 100, haul (ulang tahun kematian), dank e 1000 adalah sisa-sisa agama Animisme, Hindu, dan Budha yang dibawa oleh pemeluk agama Islam dari kalangan mereka.
g. Sikap Dai terhadap Tahlilan yang Dilestarikan Mayoritas Masyarakat
Jika mengikutinya dengan maksud membawa misi perbaikan dan amar ma'ruf nahi munkar dengan bijak, mengubah sisa-sisa jahiliyah menjadi Islam, maka hal itu tugas mulia bagi setiap Muslim terutama dai. Namun jika tidak, berarti menyetujui bahkan melegitimasi perbuatan itu. Hal itu sangat tercela dalam Islam.
h. Solusi
*Mengubah hari-hari yang ditentukan oleh Animisme, Hindu, dan Budha-1,3,7,40,100, 1 tahun, 1000 hari-menjadi hari lainnya, hari libur Jumat atau lainnya. Yang penting, tidak terfokus hari tertentu seakan-akan ketentuan agama.
*Hidangan dapat dikordinir oleh majelis taklim, yayasan, atau RT untuk membantu setiap keluarga yang kena musibah.
*Dilaksanakan di masjid setelah shalat Jumat tanpa hidangan. Keluarga mayit dapat bersedeqah semampunya untuk mayit.
___________________________________
Tanggapan :
Di dalam buku tersebut diakui bahwa :
Tahlilan hari pertama, ketiga, ketujuh, ke-40, ke 100, haul (ulang tahun kematian), dan ke 1000 adalah sisa-sisa agama Animisme, Hindu, dan Budha yang dibawa oleh pemeluk agama Islam dari kalangan mereka.
Hanya saja solusi yang ditawarkan rancu :
Mengubah hari-hari yang ditentukan oleh Animisme, Hindu, dan Budha-1,3,7,40,100, 1 tahun, 1000 hari-menjadi hari lainnya, hari libur Jumat atau lainnya. Yang penting, tidak terfokus hari tertentu seakan-akan ketentuan agama.
Apakah Pelaku bid’ah diberi pahala?
Hasil ijtihad kalau karena benar-benar tidak tahu berbeda dengan orang yang telah mengetahui hukum suatu perkara.
Berkata As-Syaikh Al-Allamah Muhammad ibn Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Al-Qoulul Mufid jilid. 1 hal 385
إن البدعة شر ولو حسن قصد فاعلها, ويأثم إن كان عالما أنها بدعة ولو حسن قصده, لأنه أقدم على المعصية, كمن يجيز الكذب والغش ويدعي أنه مصلحة, أما لو كان جاهلا فإنه لايأثم, لأن جميع المعاصي لا يأثم بها إلا مع العلم, وقد يثاب على حسن قصده, وقد نبه على ذلك شيخ الإسلام ابن تيمية في كتابه “اقتضاء الصراط المستقيم”, فيثاب على نيته دون عمله, فعمله هذا غير صالح ولامقبول عند الله ولامرضي, لكن لحسن نيته مع الجهل يكون له أجر, ولهذا قال صلى الله عليه وسلم للرجل الذي صلى وأعاد الوضوء بعدما وجد الماء وصلى ثانية:”لك الأجر مرتين”, لحسن قصده, ولأن عمله عمل صالح في الأصل, لكن لو أراد أحد أن يعمل العمل مرتين مع علمه أنه غير مشروع, لم يكن له أجر لأن عمله غير مشروع لكونه خلاف السنة, فقد قال النبي صلى الله عليه وسلم للذي لم يعد:”أصبت السنة”.
Sesungguhnya bid’ah itu jelek meskipun pelakunya bermaksud baik. Dan dia berdosa apabila tahu bahwa apa yang dikerjakannya adalah bid’ah meskipun niatnya baik. Karena dia telah mendahulukan maksiat. Sebagaimana orang jika menghalalkan berdusta dan menipu dengan dalih adanya kemaslahatan. Adapun apabila dia jahil (bodoh/ tidak tahu) maka dia berdosa. Karena semua maksiat tidaklah dikenai dosa kecuali dia mengetahuinya (bahwa itu maksiat). Dan akan diberi pahala atas niat baiknya. Yang demikian ini telah menjelaskannya Syaikhul Islam Ibnu taimiyah dalam kitabnya “Majmu Fatwa" jilid 20. Maka diganjar dengan pahala atas niatnya bukan atas amalannya. Amalnya ini tidak benar dan tidak diterima disisi Allah dan tidak pula diridhoi,akan tetapi terhadap niat baiknya yang disertai ketidaktahuannya tersebut tetap di beri pahala. Berkata Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam terhadap seseorang yang sholat dengan (tayamum) kemudian mengulangi wudhu setelah menemukan air dan mengulangi sholatnya :“Lakal ajru marrotaini” (bagi mu dua pahala). Ini karena niat baiknya, dan karena amalannya pada asalnya adalah amalan sholeh, akan tetapi jika seseorang mengerjakan amal tadi dua kali padahal tahu bahwa itu tidak disyariatkan , maka tidak berpahala baginya karena ini menyelisihi sunnah. Oleh karenanya terhadap orang yang tidak mengulangi wudhunya, Rasulullah mengatakan “anda mendapatkan sunnah”.
Hal ini memang benar dipahami juga demikian oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa Jilid. 20
ففي الجملة الأجر هو على اتباعه الحق بحسب اجتهاده، ولو كان في الباطن حق يناقضه هو أولى بالاتباع لو قدر على معرفته لكن لم يقدر؛ فهذا كالمجتهدين في جهات الكعبة.
وكذلك كل من عَبدَ عبادة نُهي عنها ولم يعلم بالنهي – لكن هي من جنس المأمور به- مثل
من صلى في أوقات النهي، وبلغه الأمر العام بالصلاة ولم يبلغه النهي، أو تمسك بدليل خاص مرجوح، مثل صلاة جماعة من السلف ركعتين بعد العصر؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم صلاَّهما.. فإنها إذا دخلت في عموم استحباب الصلاة ولم يبلغه ما يوجب النهي أثيب على ذلك، وإن كان فيها نهي من وجه لم يعلم بكونها بدعة تتخذ شعاراً، ويجتمع عليها كل عام .. فهذا يغفر له خطؤه ويثاب على جنس المشروع، وكذلك من صام يوم العيد ولم يعلم بالنهي.
بخلاف ما لم يُشرع جنسه مثل الشرك؛ فإن هذا لا ثواب فيه وإن كان الله لا يعاقب صاحبه إلا بعد بلوغ الرسالة كما قال تعالى (وما كنا معذبين حتى نبعث رسولاً)، لكنه وإن كان لا يعذب فإ هذا لا يثاب، بل هذا كما قال تعالى (وقدمنا إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هباءً منثوراً)..
فكل عبادة غير مأمور بها فلا بد أن يُنهى عنها، ثم إن علم أنها منهي عنها وفعلها استحق العقاب، فإن لم يعلم لم يستحق العقاب.
وإن اعتقد أنها مأمور بها وكانت من جنس المشروع فإنه يثاب عليها، وإن كان من جنس الشرك فهذا ليس فيه شيء مأمور به ”.
وكذلك كل من عَبدَ عبادة نُهي عنها ولم يعلم بالنهي – لكن هي من جنس المأمور به- مثل
من صلى في أوقات النهي، وبلغه الأمر العام بالصلاة ولم يبلغه النهي، أو تمسك بدليل خاص مرجوح، مثل صلاة جماعة من السلف ركعتين بعد العصر؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم صلاَّهما.. فإنها إذا دخلت في عموم استحباب الصلاة ولم يبلغه ما يوجب النهي أثيب على ذلك، وإن كان فيها نهي من وجه لم يعلم بكونها بدعة تتخذ شعاراً، ويجتمع عليها كل عام .. فهذا يغفر له خطؤه ويثاب على جنس المشروع، وكذلك من صام يوم العيد ولم يعلم بالنهي.
بخلاف ما لم يُشرع جنسه مثل الشرك؛ فإن هذا لا ثواب فيه وإن كان الله لا يعاقب صاحبه إلا بعد بلوغ الرسالة كما قال تعالى (وما كنا معذبين حتى نبعث رسولاً)، لكنه وإن كان لا يعذب فإ هذا لا يثاب، بل هذا كما قال تعالى (وقدمنا إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هباءً منثوراً)..
فكل عبادة غير مأمور بها فلا بد أن يُنهى عنها، ثم إن علم أنها منهي عنها وفعلها استحق العقاب، فإن لم يعلم لم يستحق العقاب.
وإن اعتقد أنها مأمور بها وكانت من جنس المشروع فإنه يثاب عليها، وإن كان من جنس الشرك فهذا ليس فيه شيء مأمور به ”.
Dalam konteks ini, pahala itu bagi yang berittiba’ dengan al-haq sesuai ijtihadnya.Meskipun dalam batinnya mengingkarinya, maka yang demikian lebih utama untuk berittiba’ jika ditakdirkan mengetahuinya. Tapi jika tak mengetahuinya, maka kedudukannya seperti orang berijtihad dalam menentukan arah kiblat.
Dan demikian semua yang beribadah dengan ibadah yang pada hakikatnya terlarang (tetapi asal ibadahnya tersebut diperintahkan) namun dia tidak tahu, seperti misalnya orang yang sholat diwaktu-waktu yang diharamkan. (Atau bisa saja) telah sampai kepadanya perintah sholat secara umum, tapi tidak tahu akan adanya larangan tersebut. Atau dia berpegang pada dalil khusus yang lemah, semisal sholatnya sebagian salaf dua rokaat setelah ashar dengan alasan Nabi melakukannya maka yang seperti ini apabila masuk pada keumuman disukainya sholat tetapi belum sampai kepadanya larangan tersebut meskipun itu bid’ah yang dijadikan syiar dan dilakukan tiap tahun. Maka kesalahan ini dimaafkan dan diganjar pahala dari jenis amal yang disyariatkan (sholatnya tadi). Dan demikian juga semisal berpuasanya seseorang dihari raya,karena ketidaktahuan akan adanya larangan.Ini berbeda semisal kesyirikan yang memang pada asalnya nya perbuatannya syirik ini tidak disyariatkan,maka tidak akan diberi pahala meskipun Allah tidak akan mengadzab pelakunya kecuali telah sampai risalah kepadanya sebagaimana firman Allah:“Tidaklah kami mengadzab kecuali telah kami utus Rasul”. Akan tetapi meskipun tidak di adzab apalagi diberi pahala, keadaannya amalnya ini sebagaimana di firmankan Allah:“Dan kami hadirkan kepada apa yang telah diamalkannya maka kami jadikan bagai debu berterbangan”.
Setiap ibadah yang tidak diperintahkan maka terlarang, kemudian apabila dia tahu bahwasannya terlarang tapi tetap melakukannya maka dia berhak mendapat ancaman.
Tapi jika tidak tahu maka tidak mendapat ancaman.Dan meskipun dia berkeyakinan bahwasannya apa yang dia kerjakan itu diperintahkan,tapi karena amalannya tersebut memang jenis asalnya disyariatkan, maka dia berpahala, akan tetapi jika dari jenis amalan syirik maka kesyirikan bukanlah dari jenis amalan yang diperintahkan.
Tapi jika tidak tahu maka tidak mendapat ancaman.Dan meskipun dia berkeyakinan bahwasannya apa yang dia kerjakan itu diperintahkan,tapi karena amalannya tersebut memang jenis asalnya disyariatkan, maka dia berpahala, akan tetapi jika dari jenis amalan syirik maka kesyirikan bukanlah dari jenis amalan yang diperintahkan.
Kesimpulannya adalah;
MENGUBAH SUATU ke-BID'AH-an, TETAPI MEMBUAT BID'AH BARU.
Dan fakta di lapangan malah banyak para da'i yang larut dalam tradisi ini dan tidak dapat merubahnya. Bahkan mugkin ada sebagian yang memimpin tahlilan (selamatan kematian), karena pertimbangan takut tidak mendapat simpatik, yang berakibat berkurangnya masa pendukung Partai Politik. Dan yang paling penting lagi bahwa bayan ini dikeluarkan untuk menjadi Panduan bagi kader di tengah masyarakat Muslim. Wallahu a'lam.
____________________________
STRUKTUR PENGURUS DEWAN SYARIAH PUSAT PARTAI KEADILAN/PARTAI KEADIALAN SEJAHTERA 2000 - 2005 M. [lihat halaman. 271]
Ketua : Dr. H. Salim Segaf Al Jufri, M.A.
Wakil Ketua : Dr. H. Ahzami Sami'un Jazuli, M.A.
Sekretaris : H. Mohammad Syauqi, Lc., Imam Santoso, Lc.
Anggota : Dr. H. Muslih Abdul Kariiim, M.A.
KH. Yusuf Supendi, Lc.
Dr. H. Muinuddin, M.A.
H. Abdur Roqib, Lc.
H. Tajuddin Noor, Lc.
H. Bukhori Yusuf, M.A.
H. Aunur Rafiq Shaleh Tahmid, Lc.
H. Bakrun Syafi'i, M.A.
* * * * * * * * * * * * * * *
Oleh : Anwar Baru Belajar,
dengan tetap menulis tulisan saw (shallallahu alaihi wasallam) pada Rasulullah agar tidak merubah keaslian (otentisitas) tulisan tersebut sesuai yang tertulis di dalam buku.
Dikutib dari Buku Fatwa-fatwa Dewan Syariah Partai Keadilan Sejahtera
Disusun oleh : Dewan Syariah Pusat PK Sejahtera
Pengantar : Dr. H. Salim Segaf Al Jufri, MA.
_______________________________________________
Penyunting : H. Aunur Rafiq Shalih, Lc & Imam Santoso, Lc.
Penyunting Bahasa & Proof Reader : Tim Harakatuna
Desain Sampul : Tim Harakatuna
Desain Isi dan Tata Letak : Aswi
_______________________________________________
Diterbitkan oleh
Harakatuna Publishing
Bandung, April 2006
_______________________________________________
Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
XVI, 272 hlm, 23,5 cm
ISBN:979-3977-81-7
Hasil scan halaman 60 dan 79, dari buku Fatwa-fatwa Dewan Syariah Partai Keadilan Sejahtera