Rabu, 02 Maret 2011

Kritik Syaikh Ahmad Sirhindi Kepada Para Ahli Tariqat / Tasawwuf [Sufi]

Tuhan tidak pernah bersatu dengan apapun, dan tidak ada sesuatupun yang dapat bersatu dengan Tuhan [Syaikh Ahmad Sirhindi dalam Maktubat, Vol I:266, halaman 589]

Pelatihan rohani dan pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan syari'at adalah terlarang. [ibid. vol I :71 halaman 200-201].

Syaikh Ahmad Sirhindi dapat dikatakan termasuk pembaharu Islam [mujaddid], karena besarnya pengabdian yang diberikannya. Beliau adalah seorang penganut Tariqat Naqsabandiyah. Pada masa hidup beliau, kala itu masyarakat Islam di anak benua India tengah melewati tahap kritis kehidupan Islaminya. Akbar sang penguasa Mughal di Delhi, baru saja mengesahkan kebijakan baru yang sangat mempengaruhi Islam. Menurut Akbar, ajaran yang pernah diturunkan Rasul sudah tidak sesuai, sehingga perlu diganti dengan ajaran baru, dan sebagai gantinya ia mendorong munculnya ajaran elektik (kumpulan cuplikan) yang merupakan hasil karyanya sendiri.


Sementara itu, di bawah selubung sufisme, kaum sufi menyebarkan berbagai keyakinan dan mala-praktek (mal-practice) di kalangan massa yang memang telah tercemar oleh berbagai bentuk perilaku syirik yang bermuasal dari keyakinan politeistik India. Para ulama (cendekiawan agama), sebaliknya justru menyombongkan kebiasaan mereka, demi membenarkan praktek-praktek non Islami, padahal seharusnya mereka menjadi penjaga ajaran agama. Oleh sebab itu, upaya Syaikh Ahmad untuk memerangi kemungkaran tersebut dapat dikatakan sebagai kerja besar. Dengan bantuan para muridnya, yang ditugaskan ke berbagai kota penting di India. Ia mencoba menyebarkan gagasan Islam dan memperbaharui kehidupan masyarakat. Ia juga berupaya memugar kembali hukum dan lembaga-lebaga Islam, serta meningkatkan status ummat Islam.

Hal terpenting yang pernah dilakukan Syaikh Ahmad adalah pada level gagasan. Sekelompok ulama di Mahkamah justru merupakan penentang Islam. Mereka mempertanyakan arti penting nubuwwah, meragukan kegunaan syariah, dan mengagung-agungkan kemandirian (self suffiency) nalar. Syaikh Ahmad kemudian menjawab dan banyak menanggapi hal tersebut. Dalam surat-surat yang dikirimkannya ke berbagai kalangan, dikemukakannya keterbatasan akal (nalar) dalam masalah imani, dibelanya hukum syari'ah, dan ditegaskannya perlu nubuwwah.

Tantangan yang dilontarkan oleh para tokoh sufisme terhadap Islam juga tidak kalah bahayanya. Mereka telah mengembangkan pandangan yang salah tentang sufisme, serta kaitannya dengan syari'ah. Mereka menganggap bahwa syariah telah kosong lantaran kenyataan yang mereka temukan lewat jalan sufi (tariqah). Mereka tidak sungkan untuk menukar wahyu dengan intuisi (kasyaf), atau mereka tidak dapat melepaskan doktrin tauhid (keesaan Allah) dari doktrin wahdatul wujud yang dikembangkan oleh Ibnu Al-Arabi. Pengaruh dan filsafat ini, bahkan sampai membuat mereka berani berpandangan, bahwa perbedaan antara Islam dengan kekafiran itu amat sedikit. Syaikh Ahmad memandang semua itu dengan penuh selidik. Dikatakannya bahwa syariah bukan semata-mata sekedar system aturan lahiriah (eksoterik) belaka. Ia juga mengemukakan kebenaran tertinggi dan mendefinisikan realitas kebenaran agamis. Ia nyatakan, bahwa para sufi yang mencoba mencari kebenaran di luar kerangka syari'ah sebenarnya sedang mengejar impian kosong. Dikritiknya doktrin Wahdatul Wujud, dan ditunjukkannya bahwa hal yang demikian tidak sesuai dengan syariah.


Syaikh Ahmad Sirhindi mengkritisi praktek sufi yang menyelisihi sunnah, beliau menyuruh untuk berpegang teguh pada sunnah. Beliau mengingkari adanya acara musik (sama') atau tarian darwisy (raqhs), atau pula dzikir dengan suara keras.

Beliau juga menyagkal faham wihdatul wujud yang menyatu dengan Tuhan atau berpartisipasi dalam sifat Tuhan. Beliau meluruskan bahwa keyakinan tersebut adalah keliru, yang benar adalah semata-mata hanya berserah diri pada syari'at Allah dan sunnah Rasul, dan menyakinkan diri seyakin-yakinnya sebagai hamba Allah. Dan tidak ada tingkatan yang lebih tinggi disbanding kehambaan ('abdiyyat).

Beliau mengajak ummat manusia menjauhi kepercayaan yang salah dan bid'ah, melaksanakan syariah serta mentaati Sunnah Rasul. Syaikh Ahmad Sirhindi tidak membedakan antara bid'ah yang baik (hasanah) dan bid'ah yang buruk (dhalalah). Baginya setiap bid'ah adalah sesat. Ia menolak setiap bid'ah dalam masalah diniyah.

Hal tersebut dapat dilihat dari isi surat beliau kepada para pengikutnya :

"Kalian telah bertanya, bagaimana saya melarang dzikir dengan suara keras, dan menghukuminya sebagai bid'ah.

Untuk hal-hal yang dilakukan sebagi ibadah, suatu pengabdian kepada Allah namun menyimpang dari contoh Rasul, jelas sangat terkutuk, karena dihukumi bid'ah dalam agama. Oleh karena itu harus dikutuk. [Syaikh Ahmad Sirhindi dalam Maktubat, Vol I:29, halaman 95-96]

Beliau sangat menentang kasyaf. Ia mengabaikan atau menentang kasyaf sebagai sumber pengetahuan mandiri yang sejajar dengan pewahyuan.

" Kriteria kesahihan gagasan mistikal ('ulum laduniyyah) adalah kesesuaianya dengan ilmu syariah, apabila ada penyimpangan walau selebar sehelai rambut, maka hal tersebut adalah produk mabuk (sukr). Kebenarannya hanyalah ada pada apa yang telah ditetapkan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Selain itu adalah produk penghinaan kepada Tuhan (zandaqah), bid'ah, dan hasil mabuk dan ektase" [Syaikh Ahmad Sirhindi dalam Maktubat, Vol I:31, halaman 100]

Syaikh Ahmad Sirhindi sangat mengutuk sekelompok sufi yang berpendapat bahwa mereka hanya diwajibkan menaati syariat agama sampai mereka mencapai derajat ma'rifat. Ketika mereka mencapai ma'rifat , maka kewajiban mereka terhadap syariat tidak berlaku lagi. Sirhindi mengutuk anggapan ini, dan menganggap mereka sebagai "murtad". [ibid, vol I: 276, halaman. 673].

Demikian saya tulis secara ringkas, selengkapnya silahkan membaca buku tersebut. Semoga bermanfa'at.

Sahabatmu Anwar Baru Belajar.

Sumber : Buku "Merajut Tradisi Syari'ah Dengan Sufisme" Menggagas Gagasan Mujaddid Syaikh Ahmad Sirhindi, Penerbit Srigunting.