Mereka yang belum paham tentang pengertian bid'ah dalam hal agama ( لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُ نَا ) bukan dalam hal ke-duniaan, biasanya mengatakan dan berlogika; Facebook dan komputer adalah bid'ah, naik haji pakai pesawat adalah bid'ah, sebab Nabi naik haji pakai Onta.[ Kata "amruna" أَمْرُ نَا artinya adalah perintah kami. Maksudnya adalah perintah/amalan dalam hal agama, bukan dalam hal keduniaan.]
Logika yang rancu dan rusak ini selalu mereka gembar-gemborkan kesana kemari, seakan-akan sebuah doktrin yang yang sudah paten dan pembodohan kepada orang yang awam.
Mari kita jawab juga secara logika;
Kalau mereka mengatakan naik haji pakai pesawat itu adalah bid'ah sebab alasannya Nabi pakai Onta, maka jawabnya adalah ; Kalau saudara mengatakan mesti pakai Onta, maka orang-orang yang jalan kaki-pun yang tidak pakai Onta juga bid'ah, karena saudara katakan mesti pakai Onta.
Rasulullah adalah orang yang paling mengerti perkara ibadah. Rasulullah tidak pernah bersabda : Wahai ummatku......Barangsiapa yang naik haji tidak pakai Onta maka bid'ah.
Selanjutnya, kalau mesti pakai Onta, andaikata yang naik haji jumlahnya 2.000.000 orang maka jumlah onta juga ada 2.000.000 ekor, dan betapa repotnya orang-orang hanya mengurusi Onta-onta. Belum lagi masalah makanannya para Onta dan kotorannya Onta. Gak ngebayangin sekitar Masjidil Haram penuh sesak dengan jutaan Onta. Sungguh suatu logika yang rancu !
Logika yang rancu dan rusak ini selalu mereka gembar-gemborkan kesana kemari, seakan-akan sebuah doktrin yang yang sudah paten dan pembodohan kepada orang yang awam.
Mari kita jawab juga secara logika;
Kalau mereka mengatakan naik haji pakai pesawat itu adalah bid'ah sebab alasannya Nabi pakai Onta, maka jawabnya adalah ; Kalau saudara mengatakan mesti pakai Onta, maka orang-orang yang jalan kaki-pun yang tidak pakai Onta juga bid'ah, karena saudara katakan mesti pakai Onta.
Rasulullah adalah orang yang paling mengerti perkara ibadah. Rasulullah tidak pernah bersabda : Wahai ummatku......Barangsiapa yang naik haji tidak pakai Onta maka bid'ah.
Selanjutnya, kalau mesti pakai Onta, andaikata yang naik haji jumlahnya 2.000.000 orang maka jumlah onta juga ada 2.000.000 ekor, dan betapa repotnya orang-orang hanya mengurusi Onta-onta. Belum lagi masalah makanannya para Onta dan kotorannya Onta. Gak ngebayangin sekitar Masjidil Haram penuh sesak dengan jutaan Onta. Sungguh suatu logika yang rancu !
Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya (Al Mu’jam Al Wasith). Jadi, bid’ah secara bahasa itu lebih umum, termasuk kebaikan dan kejelekan karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya. Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Imam Asy Syaatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa)
Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna.
Catatan: Jadi, berdasarkan definisi bid’ah secara istilah ini menunjukkan kepada kita semua bahwa perkara dunia (yang tidak tercampur dengan ibadah) tidaklah tergolong bid’ah walaupun perkara tersebut adalah perkara yang baru.
Perhatikanlah perkataan Asy Syatibi,
“Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah.
Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bid’ah” (Al I’tishom).
Oleh karena itu, komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah yang tercela.
Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya. Semoga pembaca memahami hal ini.
Setiap apa saja yang baru kalau secara arti bahasa maka artinya bid'ah.
Kalau ada sebagian orang mengatakan komputer, handphone, pesawat adalah bid'ah, maka memang benar bid'ah, tapi maksudnya bid'ah tersebut adalah hal-hal yang baru diciptakan [secara bahasa] dan untuk sarana atau alat duniawi.
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa)
Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna.
Catatan: Jadi, berdasarkan definisi bid’ah secara istilah ini menunjukkan kepada kita semua bahwa perkara dunia (yang tidak tercampur dengan ibadah) tidaklah tergolong bid’ah walaupun perkara tersebut adalah perkara yang baru.
Perhatikanlah perkataan Asy Syatibi,
“Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah.
Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bid’ah” (Al I’tishom).
Oleh karena itu, komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah yang tercela.
Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya. Semoga pembaca memahami hal ini.
Setiap apa saja yang baru kalau secara arti bahasa maka artinya bid'ah.
Kalau ada sebagian orang mengatakan komputer, handphone, pesawat adalah bid'ah, maka memang benar bid'ah, tapi maksudnya bid'ah tersebut adalah hal-hal yang baru diciptakan [secara bahasa] dan untuk sarana atau alat duniawi.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُ نَا فَهُوَ رَدٌّ
Yang dimaksud kata-kata bid'ah dalam hadits Nabi tersebut adalah bid'ah dalam hal agama saja.
Ketahuilah, Setiap Bid’ah adalah Tercela
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan Shohih oleh Syaikh Al Albani) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Ath Thobroniy. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Jika kita telah mengetahui demikian, maka janganlah ada yang menolak kandungan makna hadits di atas, dengan mengatakan bahwa di sana ada bid’ah yang baik. Perhatikanlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berikut: “Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama)’, ‘setiap bid’ah adalah sesat’, dan ‘setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina.” (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
Umar Berkata, “Inilah Sebaik-Baik Bid’ah”
Para pembela dan pengagung bid’ah seringkali mengemukakan kerancuan ini dengan mengatakan, “Tidak semua bid’ah itu sesat. Di sana ada bid’ah yang baik (yaitu bid’ah hasanah).” Mereka berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010). Dengan perkataan inilah, mereka membela beberapa amalan yang sebenarnya tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti selamatan kematian, Maulid Nabi, dan beberapa acara bid’ah lainnya. Perhatikanlah sanggahan berikut ini:
[Sanggahan pertama] Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’I (istilah). Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Kedua] Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
Jika kita telah mengetahui demikian, maka janganlah ada yang menolak kandungan makna hadits di atas, dengan mengatakan bahwa di sana ada bid’ah yang baik. Perhatikanlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berikut: “Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama)’, ‘setiap bid’ah adalah sesat’, dan ‘setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina.” (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
Umar Berkata, “Inilah Sebaik-Baik Bid’ah”
Para pembela dan pengagung bid’ah seringkali mengemukakan kerancuan ini dengan mengatakan, “Tidak semua bid’ah itu sesat. Di sana ada bid’ah yang baik (yaitu bid’ah hasanah).” Mereka berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010). Dengan perkataan inilah, mereka membela beberapa amalan yang sebenarnya tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti selamatan kematian, Maulid Nabi, dan beberapa acara bid’ah lainnya. Perhatikanlah sanggahan berikut ini:
[Sanggahan pertama] Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’I (istilah). Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Kedua] Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
Mengumpulkan Al Qur’an Termasuk Bid’ah ?
Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka.
[Sanggahan] Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut: “Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan). Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak.” (Majmu’ Al Fatawa)
Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya).”
Semoga sanggahan-sanggahan di atas dapat memuaskan pembaca sekalian. Kami hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama kami masih berkesanggupan. Tidak ada yang dapat memberi taufik kepada kita sekalian kecuali Allah. Ingatlah bahwa dampak berbuat bid’ah sangat besar sekali. Di antaranya adalah pelaku bid’ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari kiamat kelak, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut: “Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ ” (HR. Bukhari no. 7049). Cukuplah hadits ini membuat kita semakin takut dalam berbuat bid’ah.
Selain itu mereka mempropoganda, dengan tuduhan-tuduhan rendah dengan mengatakan bahwa orang yang anti bid'ah telah mengklaim bahwa dirinya paling suci, paling bersih dan memiliki "Kunci Surga" dan yang lainnya adalah sesat dan kafir semua. Nauzubillah, sebuah tuduhan yang hina dan tidak bermartabat.
[Sanggahan] Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut: “Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan). Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak.” (Majmu’ Al Fatawa)
Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya).”
Semoga sanggahan-sanggahan di atas dapat memuaskan pembaca sekalian. Kami hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama kami masih berkesanggupan. Tidak ada yang dapat memberi taufik kepada kita sekalian kecuali Allah. Ingatlah bahwa dampak berbuat bid’ah sangat besar sekali. Di antaranya adalah pelaku bid’ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari kiamat kelak, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut: “Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ ” (HR. Bukhari no. 7049). Cukuplah hadits ini membuat kita semakin takut dalam berbuat bid’ah.
Selain itu mereka mempropoganda, dengan tuduhan-tuduhan rendah dengan mengatakan bahwa orang yang anti bid'ah telah mengklaim bahwa dirinya paling suci, paling bersih dan memiliki "Kunci Surga" dan yang lainnya adalah sesat dan kafir semua. Nauzubillah, sebuah tuduhan yang hina dan tidak bermartabat.
Ahlussunah tidak gegabah dan bermudah-mudah memvonis
Memang benar bahwa terdapat banyak nash dan atsar Salaf yang mencela bid`ah dan ahli bid`ah. Namun hal ini bukan menjadi pembenaran untuk kemudian bermudah-mudah dan serampangan dalam menjatuhkan vonis bid`ah serta menuduh pihak lain sebagai ahli bid`ah, terlebih lagi untuk menjatuhkan vonis kafir.
Menjatuhkan vonis kafir atau sesat atau ahli bid`ah kepada seseorang berarti melecehkan hal keberagamaan yang bersangkutan. Sedangkan pelecehan dalam hal agama merupakan pelecehan yang paling berat. Sebab seorang Mukmin lebih benci apabila keberagamaannya dilecehkan dibandingkan pelecehan terhadap hal-hal yang lain.
Dari Abū Hurairah, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,
Menjatuhkan vonis kafir atau sesat atau ahli bid`ah kepada seseorang berarti melecehkan hal keberagamaan yang bersangkutan. Sedangkan pelecehan dalam hal agama merupakan pelecehan yang paling berat. Sebab seorang Mukmin lebih benci apabila keberagamaannya dilecehkan dibandingkan pelecehan terhadap hal-hal yang lain.
Dari Abū Hurairah, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,
بِحَسبِ امْرِئٍ مِن الشَّرّ أن يَحْقِر أخاه الْمُسْلم، كلّ المُسْلم عَلَى الْمسلم حَرَام دَمُه وَمَاله وَعرْضه
“Cukuplah menjadi keburukan bagi seseorang untuk merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram, yaitu darahnya, hartanya dan kehormatannya.” [Riwayat Muslim dan lain-lain]
Bahaya lain yang tak kalah dahsyatnya dari melecehkan atau memvonis orang lain adalah bahwa vonis tersebut akan kembali kepada pengucapnya apabila pihak yang divonis ternyata tidak sebagaimana yang dikatakan.
Dari Abū Hurairah, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا
“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka sesungguhnya hal itu kembali kepada salah satu dari keduanya.” [Riwayat al-Bukhāri V/2263/5752.]
Dalam riwayat lain dari Ibn `Umar:
أَيُّمَا امْرِئْ قَالَ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Siapa saja yang berkata saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya. Jika kondisinya adalah sebagaimana yang dikatakan, atau jika tidak maka kembali kepada pengucapnya.” [Riwayat Muslim I/79/60.]
Dalam lafal lain:
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Jika seseorang mengafirkan saudaranya, maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya.” [Riwayat Muslim I/79/60.]
Dari Abū Dzarr, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,
Dari Abū Dzarr, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,
وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوّ اللهِ وَلَيْسَ كَذلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang memanggil orang lain dengan kekufuran atau menyebutnya sebagai musuh Allah padahal tidak demikian adanya, melainkan hal tersebut akan kembali kepada yang mengucapkannya.” [Riwayat Muslim I/79/61.]
Dalam riwayat lain dari Abū Dzarr, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,
Dalam riwayat lain dari Abū Dzarr, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,
لاَ يَرْمِيْ رَجُلٌ رَجُلاً باِلْفُسُوْقِ وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذلِكَ
“Tidaklah seseorang melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kefasikan, dan tidak pula kekafiran, melainkan hal itu akan kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata tidak demikian.” [Riwayat al-Bukhāri V/2247/5698.]
Imam Ibn Hajar berkata, “Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa barangsiapa yang berkata kepada orang lain, ‘Engkau fasiq,’ atau, ‘Engkau kafir,’ jika yang dituduh tidak sebagaimana yang dikatakan maka si pengucap itulah yang berhak menyandang sifat tersebut; dan apabila yang dituduh adalah sebagaimana yang dikatakan, maka tuduhan tersebut tidak kembali kepada pengucapnya, karena ia benar atas yang dikatakannya. Namun tidak ada kelaziman bahwa meskipun si penuduh tidak menjadi fasiq atau kafir, bukan berarti ia tidak berdosa, dan dalam hal ini terdapat perincian.
Imam Ibn Hajar berkata, “Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa barangsiapa yang berkata kepada orang lain, ‘Engkau fasiq,’ atau, ‘Engkau kafir,’ jika yang dituduh tidak sebagaimana yang dikatakan maka si pengucap itulah yang berhak menyandang sifat tersebut; dan apabila yang dituduh adalah sebagaimana yang dikatakan, maka tuduhan tersebut tidak kembali kepada pengucapnya, karena ia benar atas yang dikatakannya. Namun tidak ada kelaziman bahwa meskipun si penuduh tidak menjadi fasiq atau kafir, bukan berarti ia tidak berdosa, dan dalam hal ini terdapat perincian.
Ahlussunnah tidak seorangpun mengaku dirinya suci dan bersih dari kesalahan
Seorang muslim yang baik, bukanlah yang tidak pernah melakukan kesalahan dan dosa. Karena setiap anak adam siapapun orangnya, apapun profesinya, dan seluas apapun kapasitas keilmuannya tidak akan pernah luput dari kesalahan dan dosa. Namun seorang muslim yang baik adalah yang apabila melakukan kesalahan dia langsung menyesal dan bertaubat dari kesalahan yang telah diperbuatnya.
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi". (QS. Al A'raf :23)
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi". (QS. Al A'raf :23)
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun. Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka). (QS. An Nisa : 49-50)
maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa (QS.An-Najm :32)
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Setiap anak Adam adalah bersalah dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertaubat.” [HASAN SHAHIH. HR. At-Tirmidzi (no. 2499), Ibnu Majah (no. 4251), Ahmad (III/...198), al-Hakim (IV/244), dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dan dihasankan oleh al-Albani ]
maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa (QS.An-Najm :32)
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Setiap anak Adam adalah bersalah dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertaubat.” [HASAN SHAHIH. HR. At-Tirmidzi (no. 2499), Ibnu Majah (no. 4251), Ahmad (III/...198), al-Hakim (IV/244), dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dan dihasankan oleh al-Albani ]
_______________
Sahabatmu Anwar Baru Belajar
Si Onta ngambek.......terlalu sering di ghibahin, kalau naik haji pake pesawat itu perbuatan bid'ah. Nabi dulu naik haji pake Onta kata ahlu bid'ah. Onta berkata : " Sekarang gantian deh.....Gue aje yang naik pesawat...ellu-ellu pade jalan kaki aje atau berenang di laut naik Buaye.....he...he...he....Lol..