Jumat, 06 Mei 2011

Pengaturan Penggunaan Mikropon Masjid Perlu Diperhatikan

Sebagai penganut agama Islam, kita sering membangga-banggakan bahwa Islam itu agama rahmatan lil ‘alamin. Tidak hanya rahmat bagi pemeluknya, tapi juga bagi non muslim, bahkan rahmat bagi binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Kita juga sering membangga-banggakan, bahwa Islam itu agama tertib, segalanya ada aturannya. Mulai dari bangun tidur, masuk kamar mandi, makan-minum, keluar rumah, naik kendaraan dan sampai tidur kembali, ada aturannya serta ada pula do’anya.
Namun sayang, citra Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin dan agama yang punya aturan tata tertib, belum sepenuhnya tercermin dalam prilaku pemeluknya. Salah satu diantaranya dalam pengunaan pengeras suara (mikropon) masjid yang sering dikeluhkan warga sekitar masjid, karena merasa terganggu dengan suara dari mikropon masjid yang tidak tertib.
Bukan hanya kalangan non muslim, kaum muslimin juga banyak yang merasa terganggu dengan penggunaan mikropon masjid yang tidak tertib tersebut. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Majalah Tempo tanggal 20 Februari 1982 memprotes penggunaan mikropon masjid yang tidak tertib itu dalam tulisan berjudul “Islam Kaset dengan Kebisingannya”.
Dalam tulisan kolomnya, mantan presiden yang juga mantan Ketua Umum PB Nahdhatul Ulama itu mengingatkan, berjenis-jenis seruan untuk beribadat dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap surau, termasuk di tengah malam saat orang tidur lelap. Seruan yang disetel dengan suara keras itu dapat mengganggu orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur, wanita haid yang tidak terkena wajib sembahyang, juga anak-anak yang belum akil baligh.
Waktu tulisan Gus Dur keluar di Majalah Tempo, saya masih berada di Medan. Salah seorang rekan yang minum di warung kopi Pasar Sambu, memperbanyak tulisan tersebut dan membagikannya kepada rekan lainnya. Dia menyatakan akan menempelkan tulisan Gus Dur tersebut di masjid dekat rumahnya sebagai bentuk protes karena selama ini merasa terganggu dengan penggunaan mikropon masjidnya.
Wakil Sekjen Dewan Masjid Indonesia (DMI) H. Natsir Zubaidi, dalam percakapannya dengan penulis empat tahun lalu, juga mengaku sering menerima pengaduan masyarakat yang merasa terganggu dengan penggunaan mikropon masjid yang tidak tertib itu.
Banyak pula kritikan terpendam karena takut dituduh anti Islam. Mereka melontarkan kritik secara terbatas terhadap penggunaan mikropon masjid. Seorang rekan yang beristrikan mu’alaf keturunan Tionghoa dan tinggal di dekat masjid mengungkapkan, bahwa istrinya terpaksa membeli penutup kuping agar tidak terganggu dengan berbagai seruan dari masjid.
Sementara rekan non muslim yang juga tinggal di dekat masjid bercerita, bahwa dia pernah memutus kabel mikropon masjid karena istirahatnya terganggu. Tindakan nekad rekan ini nyaris mengundang bencana, rumahnya hendak dibakar massa.
Warga yang memperbanyak tulisan Gus Dur untuk ditempelkan di masjid, kisah seorang mu’alaf yang memakai penutup kuping dan seorang non muslim yang nekat memutus kabel telepon, hanya sebagai kecil contoh kasus masyarakat yang merasa terganggu dengan penggunaan mikropon masjid yang tidak tertib. Ini tentunya bertentangan dengan citra Islam yang ingin kita bangun, Islam sebagai agama yang tertib dan rahmatan lil ‘alamin.
Karena itu, perlu adanya pembatasan dan pengaturan agar penggunaan mikropon masjid tidak dijadikan cemoohan oleh musuh-musuh Islam, bahwa Islam itu agama berisik dan tidak mengenal tata tertib. Pembatasan dan pengaturan penggunaan mikropon masjid tersebut bukan dimaksudkan untuk membatasi fungsi masjid sebagai tempat ibadah dan tempat pembinaan hubungan antar ummat (muammalah).
Pembatasan dan pengaturan penggunaan mikropon masjid sesuai dengan anjuran Departemen Agama sebagai mana tertuang dalam buku:“Pola Pembinaan Kegiatan Kemasjidan dan Profil Masjid, Mushalla dan Langgar”Silahkan klik di sini untuk melihat isi Lampiran Intruksi DIRJEN BIMAS Islam 1978
Pembatasan dan pengaturan penggunaan mikropon masjid juga telah ada aturannya berupa Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Nomor : Kep/D/101/1978 tentang “Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla”. Instruksi yang ditandatangani Dirjen Bimas Islam Drs. H. Kafrawi MA tanggal 17 Juli 1978 itu, mengacu kepada Keputusan-keputusan Lokakarya Pembinaan Peri Kehidupan Beragama Islam (P2A) tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla yang diadakan di Jakarta tanggal 28 – 29 Mai 1978.
Dari buku “Pola Pembinaan Kegiatan Kemasjidan dan Profil Masjid, Mushalla dan Langgar” dan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor 101/1978 beserta lampirannya, jelas adanya keharusan mengatur penggunaan mikropon masjid dan mushalla. Sekjen DMI H. Natsir Zubaidi menjabarkan salah satu bentuk pengaturan mikropon masjid tersebut dengan membagi dua suara, yakni keluar dan kedalam masjid. Berdasarkan pembagian tersebut, diatur kapan dan untuk apa suara mikropon masjid ditujukan keluar masjid dan kedalam masjid.
Mungkin karena kurang sosialisasi, adanya ketentuan pengaturan penggunaan mikropon masjid sebagaimana tertuang dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam dan buku petunjuk Departemen Agama, kurang diperhatikan oleh pengurus masjid dan mushalla. Bahkan pejabat setingkat kepala seksi di Kantor Depag Kotamadya Jakarta Timur, tidak mengetahui adanya pengaturan penggunaan mikropon masjid melalui Instruksi Dirjen Bimas Islam tersebut.
Dalam Al Qur’an juga telah ada petunjuk dan larangan bersuara keras dalam berdo’a, sebagaimana sering kita dengar dari suara yang keluar dari mikropon masjid. Dalam surat Al A’raf ayat 55 Allah SWT berfirman :
Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah hati dan suara lembut. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang meampaui batas.
Jangankan berzikir dan berdo’a, dalam melakukan takbir pun Nabi Muhammad SAW melarang kita bersuara keras. Hal itu dapat dilihat dalam hadis yang diriwayatkan Muttafaq Alaih :
Kami berangkat bersama Rasulullah SAW, maka tatkala kami telah dekat ke Madinah, maka bertakbirlah Nabi dan bertakbirlah manusia, serta mereka mengeraskan suara mereka. Maka berkata Rasulullah SAW : Hai manusia sesungghnya zat yang kamu seru itu tidak tuli dan tidak jauh, sesungguhnya Tuhan yang kamu seru itu ada diantara kamu dan di antara leher kendaraan kamu (Doa oleh Dr. Miftah Faridl, halaman 26 – 27).
Mengacu kepada ayat Al Qur’an, hadis Nabi serta instruksi Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, dalam pelaksanaan shalat, ceramah agama dan lain sebagainya, penggunaan suara dari mikropon masjid seharusnya diarahkan kedalam masjid. Sedangkan suara keluar masjid hanya untuk azan dan pemberitahuan bahwa akan diselenggarakannya suatu kegiatan, misalnya pengajian serta pengumuman penting lainnya.
Di Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah tidak pernah kedengaran suara keluar dari mikropon masjid kecuali untuk seruan azan. Demikian pula halnya di sejumlah masjid lainya di Timur Tengah, suara yang keluar dari mikropon masjid hanya azan dan seruan penting lainnya dalam waktu yang terbatas.
Pembatasan penggunaan suara keluar melalui mikropon masjid perlu menjadi perhatian kita semua, khususnya pengurus masjid. Kita harus ingat bahwa udara itu merupakan hak publik, bukan hanya hak kaum muslimin, tapi juga hak non muslim dan hak seluruh makhluk Allah SWT. Karena itu mikropon masjid tidak boleh dipergunakan semena-mena.
Oleh : Darlis MT
Penulis adalah Sekretaris Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Fathurrahmaan, Ciracas, Jakarta Timur.
Resent by Anwar Baru Belajar
Ulama terdahulu juga telah mengingatkan hal ini, bahawa bacaan-bacaan lain di menara-menara masjid adalah dilarang kerana boleh mengganggu orang ramai. Al-Imam al-Hafizd Ibn Jauzi (meninggal 597H) pernah berkata:
“Antara tipu daya Iblis ialah mereka yang mencampur adukkan azan dengan peringatan, tasbih dan nasihat. Mereka jadikan azan perantaranya lalu bercampur aduk. Para ulama membenci segala yang ditambah kepada azan. Banyak kita lihat orang yang bangun waktu malam lalu memberikan peringatan dan nasihat atas menara azan. Dalam kalangan mereka ada yang membaca al-Quran dengan suara yang tinggi lalu mengganggu tidur orang ramai dan mengganggu bacaan orang yang bertahajjud. Kesemuanya itu adalah perkara-perkara munkar”. ( Ibn Jauzi, Talbis Iblis, 159, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah).

_____________________________
INTRUKSI DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAMNOMOR . KEP / D / 101 / 1978TANGGAL . 17 JULI 1978T E N T A N G
TUNTUNAN PENGGUNAAN PENGERAS SUARA DI MASJID, LANGGAR DAN MUSHALLA
Isi poin 3 dari bagian D halaman 228. Syarat-syarat Penggunaan Pengeras Suara:
"tidak bolehnya terlalu meninggikan suara do'a, dzikir, dan sholat. Karena pelanggaran hal-hal seperti ini bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan bahwa ummat beragama sendiri tidak menta'ati ajaran agamanya"
Isi bagian F alinea 1 halaman 229 :
"ketentuan syari'ah yang melarang bersuara keras dalam sholat dan do'a. sedang dzikir pada dasarnya adalah ibadah individu langsung dengan Allah SWT karena itu tidak perlu menggunakan pengeras suara baik ke dalam atau ke luar."


Artikel yang terkait dan silahkan dilihat hasil scan INTRUKSI DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM NOMOR . KEP / D / 101 / 1978 TANGGAL . 17 JULI 1978 T E N T A N G TUNTUNAN PENGGUNAAN PENGERAS SUARA DI MASJID, LANGGAR DAN MUSHALLA pada link ini;