Kamis, 12 Mei 2011

Hukum Membaca Al Fatihah Setelah Salam [ Selesai Sholat ]

Assalaamu `alaikum wa rohmatulloohi wa barokaatuh

Sering ana jumpai, selesai sholat berjamaah di Masjid, imam sholat membaca surat Al Fatihah baik itu dengan komando "Al Faaatihaaah…." oleh si imam, maupun sendiri2. Begitu juga jamaah2 disebelah kiri dan kanan ana membaca Al Fatihah. Yang ingin ana tanyakan adalah :
Apakah ada dalil shahih yang menganjurkan kita membaca surat Al Fatihah diantara zikir2 ba'da sholat fardhu? Karena setahu ana, dari kitab2 hadist yang ana baca, terutama masalah zikir2 ba'da sholat fardhu, tidak terdapat dalil membaca Al Fatihah ini. Yang ada malah membaca surat Al Ikhlas, Al Falaq, An Naas dan Ayat Kursyi.
Ana mohon pencerahannya akan hal ini. Jazaakallah khoir.
Wassalaamu `alaikum wa rohmatulloohi wa barokaatuh
Dari: "Novy Rostiyan Novario" 

Alhamdulillah. Permasalahan yang sama pernah juga ditanyakan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan dibawah ini adalah kutipannya.
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Disebagian negara setelah selesai shalat fardlu mereka membaca Al-fatihah, dzikir, dan ayat kursi dengan berjama'ah, apa hukum perbuatan seperti ini?
Jawaban
Membaca Al-Fatihah, ayat kursi dan dzikir setelah shalat dengan suara keras dan bersama-sama termasuk bid'ah. Memang diketahui dari Nabi dan para sahabat setelah shalat mereka berdzikir kepada Allah dengan suara tinggi atau keras, tapi setiap mereka berdzikir kepada Allah sendiri-sendiri tidak bersama-sama. Mengeraskan suara saat dzikir setelah shalat fardlu adalah sunnah sebagaimana tersebut dalam shahih Bukhari dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata:
"Artinya : Pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam orang-orang meninggikan suara dalam berdzikir setelah selesai dari shalat fardlu"[Muttafaqun 'alaih]
Adapun membaca Al-Fatihah setelah selesai shalat baik dengan suara pelan ataupun keras, saya tidak tahu ada haditsnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang ada riwayatnya adalah membaca ayat kursi, Al-Ikhlas dan Mu'awidzatain saja.
[Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa, Bab Ibadah]
Kemudian saya salinkan juga dari http://www.almanhaj.or.id/ sebagai
penjelasan tambahan, semoga bermanfaat
----------------------------------------------------------------
HUKUM MENGANGKAT SUARA KETIKA BERDZIKIR SETELAH SHALAT
Oleh Syaikh Muhammad nashiruddin Al-Albani
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Bagaimana hukum mengeraskan suara dalam dzikir setelah shalat?"
Jawaban.
Ada suatu hadits dalam Shahihain dari Ibnu 'Abbas, ia berkata:
"Artinya : Dahulu kami mengetahui selesainya shalat pada masa Nabi karena suara dzikir yang keras".
Akan tetapi sebagian ulama mencermati dengan teliti perkataan Ibnu 'Abbas tersebut, mereka menyimpulkan bahwa lafal "Kunnaa" (Kami dahulu), mengandung isyarat halus bahwa perkara ini tidaklah berlangsung terus menerus.
Berkata Imam Asy-Syafi'i dalam kitab Al-Umm bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengeraskan suaranya ketika berdzikir adalah untuk mengajari orang-orang yang belum bisa melakukannya. Dan jika amalan tersebut untuk hanya pengajaran maka biasanya tidak dilakukan secara terus menerus.
Ini mengingatkanku akan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang bolehnya imam mengeraskan suara pada bacaan shalat padahal mestinya dibaca perlahan dengan tujuan untuk mengajari orang-orang yang belum bisa.
Ada sebuah hadits di dalam Shahihain dari Abu Qatadah Al-Anshari bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu terkadang memperdengarkan kepada para shabahat bacaan ayat Al-Qur'an di dalam shalat Dzuhur dan Ashar, dan Umar
juga melakukan sunnah ini.
Imam Asy-Syafi'i menyimpulkan berdasarkan sanad yang shahih bahwa Umar pernah men-jahar-kan do'a iftitah untuk mengajari makmum ; yang menyebabkan Imam ASy-Syafi'i, Ibnu Taimiyah dan lain-lain berkesimpulan bahwa hadits di
atas mengandung maksud pengajaran. Dan syari'at telah menentukan bahwa sebaik-baik dzikir adalah yang tersembunyi.
Walaupun hadits : "Sebaik-baik dzikir adalah yang tersembunyi (perlahan)". Sanad-nya Dhaif akan tetapi maknanya 'shahih'.
Banyak sekali hadits-hadits shahih yang melarang berdzikir dengan suara yang keras, sebagaimana hadits Abu Musa Al-Asy'ari yang terdapat dalam Shahihain yang menceritakan perjalanan para shahabat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Abu Musa berkata : Jika kami menuruni lembah maka kami bertasbih dan jika kami mendaki tempat yang tinggi maka kami bertakbir. Dan kamipun mengeraskan suara-suara dzikir kami. Maka berkata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Wahai sekalian manusia, berlaku baiklah kepada diri kalian sendiri. Sesungguhnya yang kalian seru itu tidaklah tuli dan tidak pula ghaib. Sesunguhnya kalian berdo'a kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, yang lebih dekat dengan kalian daripada leher tunggangan kalian sendiri".
Kejadian ini berlangsung di padang pasir yang tidak mungkin mengganggu siapapun. Lalu bagaimana pendapatmu, jika mengeraskan suara dzikir itu berlangsung dalam masjid yang tentu mengganggu orang yang sedang membaca
Al-Qur'an, orang yang 'masbuq' dan lain-lain. Jadi dengan alasan mengganggu orang lain inilah kita dilarang mengeraskan suara dzikir.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Wahai sekalian manusia, masing-masing kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabb kalian, maka janganlah sebagian kalian men-jahar-kan bacaannya dengan mengganggu sebagian yang lain.
Al-Baghawi menambahkan dengan sanad yang kuat.
"Artinya : Sehingga mengganggu kaum mu'minin (yang sedang bermunajat)".
[Disalin dari kitab Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah, edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa AlBani.Fatwa-Fatwa AlBani, hal 39-41, Pustaka At- Tauhid]
___________________________
Link Tambahan :
resent by Anwar Baru Belajar