Selasa, 24 Mei 2011

Adakah Bid’ah Hasanah? (4) – Pembagian Bid’ah Oleh Imam Asy Syafi’i

DALIL YANG KETIGA:
Untuk menguatkan pendapat bahwa ada bid’ah hasanah, pendebat berdalilkan dengan ucapan Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
Bid’ah itu ada dua macam: Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela), maka apa-apa yang sesuai dengan sunnah itu adalah terpuji, dan apa-apa yang menyelisihi sunnah itu adalah tercela.” (Hilyatul Auliya 9/113)
Dan berkata pula Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
Suatu yang diada-adakan itu ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan menyelisihi kitab atau sunnah, atau atsar, atau ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat; dan sesuatu yang diada-adakan dari kebaikan yang sedikitpun tidak menyelisihi sunnah, maka ini tidak tercela.” (Manaqibu Asy Safi’I oleh Al Baihaqi 1/469 dan Al Ba’its oleh Abi Syamah hal. 94)

Dalil ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah dikarenakan beberapa alasan:
ALASAN PERTAMA:
Telah kita singgung didepan, bahwa tidak boleh perkataan seluruh manusia bertententangan dengan perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Perkataan Rasulullah menjadi hujjah bagi setiap orang dan bukanlah perkataan seseorang dari manusia menjadi hujjah atas Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Telah berkata Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhu:
“Tidaklah ada seorangpun selain Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melainkan pendapatnya dapat diambil dan ditinggalkan.”
Telah berkata Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
“Setiap apa yang aku katakan, apabila menyelisihi hadits dari Rasulullah, maka hadits Rasulullah itulah yang lebih utama (untuk diikuti). Janganlah kalian bertaqlid kepadaku.” (Hilyatul Auliya’ 9/108)
ALASAN KEDUA:
Sesungguhnya orang yang mau berfikir terhadap perkataan Imam Syafi’I rahimahullah tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud oleh Imam Asy Syafi’I dengan Bid’ah Mahmudah (terpuji) adalah pengertian bid’ah secara bahasa (lughoh) dan bukan secara syar’I.
Dengan dalil, bahwasanya semua yang bid’ah menurut syariat adalah menyelisihi kitab dan sunnah, dan Imam Asy Syafi’I sendiri memberi batasan bid’ah yang terpuji yaitu yang tidak bertentangan/menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah. Padahal bid’ah secara syar’I jelas-jelas menyelisihi firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (Al Maidah: 3)Dan menyelisihi sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami ini perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)Dan masih banyak lagi ayat dan hadits yang lainnya.
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:
“Yang dimaksud oleh Imam Asy Syafi’I rahimahullah, yang telah disebutkan sebelumnya, adalah bahwasanya pada dasarnya bid’ah yang tercela (Bid’ah Madzmumah) adalah sesuatu yang tidak ada asalnya dalam syariat, yang dia akan kembali padanya, inilah bid’ah menurut syar’i. Adapun bid’ah yang terpuji (Bid’ah Mahmudah) adalah segala yang sesuai dengan sunnah, yakni sesuatu yang ada dasarnya dari sunnah yang kembali padanya, hanya saja pemahaman ini secara lughoh (bahasa) bukan secara syar’I, karena sesuai dengan sunnah. (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam hadits no. 28)
Dan bid’ah secara lughoh (bahasa) yang dimaksud oleh Imam Asy Syafi’I rahimahullah dalam perkataan beliau “bid’ah terpuji”, misalnya: penulisan hadits dan sholat tarawih, maka benarlah bahwa definisi bid’ah disini adalah secara lughoh (bahasa) karena hal ini tidak ada contoh yang mendahuluinya; adapun menurut definisi syar’I, ini tidak benar karena perbuatan tersebut ada asalnya dari sunnah.
Kesimpulan dari perkataan diatas:
Bahwa setiap bid’ah yang dikatakan terpuji, bukanlah bid’ah, akan tetapi diduga bid’ah, dan jika memang telah dipastikan sesuatu itu adalah bid’ah, maka bid’ah itu jelek secara qoth’I (pasti), karena menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah.
ALASAN KETIGA:
Sudah mahsyur tentang Imam Asy Syafi’I rahimahullah, bahwasanya beliau sangat menjaga dalam mengikuti Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan sangat benci terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Terbukti ketika beliau ditanya tentang suatu permasalahan, maka beliau mengatakan: “Telah diriwayatkan tentang hal tersebut demikian dan demikian dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam”, maka ada yang bertanya “Wahai Abu ‘Abdillah apakah kamu berpendapat dengannya?” Maka Imam Asy Syafi’I gemetar (karena marah) dan tergoncang, seraya beliau berkata “Wahai kamu, bumi manakah yang akan kupijak dan langit manakan yang akan kunaungi, apabila aku telah meriwayatkan suatu hadits dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kemudian aku tidak berpendapat dengan hadits tersebut? Ya, wajib bagiku dengan pendengaran dan penglihatanku” (Shifatu sufwah 2/256)
Maka bagaimana mungkin dalam keadaan beliau yang demikian ini, beliau menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat).
Bahkan lebih pantas perkataan Imam Asy Syafi’I ditempatkan pada tempatnya yang tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Sesungguhnya yang dimaksud Imam Asy Syafi’I rahimahullah “bid’ah” dalam ucapannya ini adalah makna secara lughowi.
Telah berkata Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
“Apabila kalian mendapati di dalam kitabku menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka katakanlah dengan sunnah itu dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Siyar A’lamun Nubala’ 10/34)
Imam Asy Syafi’I rahimahullah mengatakan:
“Setiap hadits dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka itu adalah pendapatku (perkataanku) walaupun kalian tidak mendengarnya dariku.” (Siyar A’lamun Nubala’ 10/34)
Imam Asy Syafi’I rahimahullah mengatakan:
“Setiap apa yang aku katakan, apabila menyelisihi hadits dari Rasulullah, maka hadits rasulullah itulah yang lebih utama (untuk diikuti). Janganlah kalian bertaqlid kepadaku.” (Hilyatul Auliya’ 9/108)
Imam Asy Syafi’I rahimahullah mengatakan:
“Setiap masalah yang benar datangnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menurut ahlu Naql sementara ia menyelisihi apa yang aku katakan, maka saya akan kembali merujuk pada hadits itu selama hidupku dan setelah matiku.” (Tawaliy At Ta’sisi 108)

Selengkapnya........