Senin, 30 Agustus 2010

I'tikaf Pada 10 Hari Terakhir Bulan Ramadhan [ Hukum dan Keutamaanya]

Segala pujian dan sanjungan hanya bagi Allah, Rabb seluruh penghuni bumi. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada junjungan dan teladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam seorang hamba yang diutus Allah subhanahu wata’ala sebagai rahmat bagi alam semesta, demikian pula semoga tercurah kepada seluruh keluarga dan para shahabatnya.

Dengan risalah singkat ini penulis mengaharapkan agar dapat memberi manfaat, secara khusus bagi pribadi penulis dan umumnya kepada kaum muslimin.

Mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala menjadikan seluruh amalan kita sebagai timbangan kebajikan kelak nanti di akherat, Amin ya Rabbal 'Alamin.

Makna I’tikaf


Menurut bahasa i’tikaf memiliki arti menetapi sesuatu dan menahan diri agar senantiasa tetap berada padanya, baik hal itu berupa kebajikan ataupun keburukan.

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,

“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang beri’tikaf (menyembah) berhala mereka.” (QS. al-A'raf :138)


Sedangkan menurut syara' i’tikaf berarti menetapnya seorang muslim didalam masjid untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah Ta'ala.


Hukum I’tikaf

Para ulama sepakat bahwa iktikaf hukumnya sunnah, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa melakukannya tiap tahun untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala dan memohon pahala-Nya. Terutama pada hari-hari di bulan Ramadhan dan lebih khusus ketika memasuki sepuluh hari terakhir pada bulan suci itu. Demikian tuntunan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Yang Wajib Beriktikaf

Sebagaimana dimaklumi bahwa i’tikaf hukumnya adalah sunnah, kecuali jika seseorang bernadzar untuk melakukannya, maka wajib baginya untuk menunaikan nadzar tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan imam al-Bukhari dan Muslim.

Disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan i’tikaf semenjak beliau tinggal di Madinah hingga akhir hayat.

Tempat I’tikaf

I’tikaf tempatnya di setiap masjid yang di dalamnya dilaksanakan shalat berjama'ah kaum laki-laki, firman Allah Ta'ala, artinya,

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid.” (QS. al- Baqarah:187)

Orang yang beri’tikaf pada hari Jum'at disunnahkan untuk beri’tikaf di masjid yang digunakan untuk shalat Jum'at. Tetapi jika ia beri’tikaf di masjid yang hanya untuk shalat jama'ah lima waktu saja, maka hendaknya ia keluar hanya sekedar untuk shalat Jum'at (jika telah tiba waktunya), kemudian kembali lagi ke tempat iktikafnya semula.

Waktu I’tikaf

Waktu i'tikaf yang paling utama adalah i’tikaf di bulan suci Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir. Inilah waktu i’tikaf yang terbaik sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih, artinya, "Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau." (HR .al-Bukhari dan Muslim dari A’isyah radhiyallahu ‘anha)

Sunnah-Sunnah bagi Orang yang Sedang I’tikaf

Disunnahkan bagi para mu’takif supaya memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya untuk berdzikir, membaca al-Qur'an, mengerjakan shalat sunnah, terkecuali pada waktu-waktu terlarang, serta memperbanyak tafakur tentang keadaannya yang telah lalu, hari ini dan masa mendatang. Juga banyak-banyak merenungkan tentang hakikat hidup di dunia ini dan kehidupan akhirat kelak.

Hal-Hal yang harus Dihindari Mu’takif

Orang yang sedang i’tikaf dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang tidak bermanfaat seperti banyak bercanda, mengobrol yang tidak berguna sehingga mengganggu konsentrasi i’tikafnya. Karena i’tikaf adalah bertujuan untuk mendapatkan keutamaan bukan malah menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak di- sunnahkan.

Ada sebagian orang yang beri’tikaf, namun dengan meninggalkan tugas dan kewajibannya. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena sungguh tidak proporsional seseorang meninggalkan kewajiban untuk sesuatu yang sunnah. Oleh karena itu, orang yang i’tikaf hendaknya ia menghentikan i’tikafnya, jika memiliki tanggungan atau kewajiban yang harus dikerjakan.

I’tikaf hanya boleh dilakukan di masjid dan tidak keluar darinya kecuali hajat dan darurat. Tidak boleh dilakukan pada selain masjid. Sebagaimana firman Allah:

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.” (QS. Al Baqoroh: 187)

Hal-Hal yang Diperbolehkan Dalam I’tikaf

1. Boleh keluar masjid karena hajat dan boleh juga mengeluarkan kepalanya keluar masjid untuk dicuci atau disisiri. Aisyah berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ

“Nabi jika beri’tikaf mengeluarkan kepalanya kepada saya lalu saya sisiri, dan beliau tidak keluar kecuali untuk hajat (kebutuhan).” (Muslim)

2. Dibolehkan berwudhu di masjid.

3. Boleh membuat kemah kecil atau kamar kecil dengan kain di bagian belakang masjid sebagai tempat beri’tikaf, sebagaimana Aisyah membuat kemah kecil untuk Nabi beri’tikaf.

4. Dibolehkan meletakkan kasur atau dipan dalam I’tikaf, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi, bahwa beliau jika beri’tikaf disiapkan atau diletakkan kasur atau dipan di belakang tiang taubah. (Hadits ini sanadnya hasan, diriwayatkan Ibnu najah dalam Zawaaid Sunan-nya)

5. Boleh mengantar istrinya yang mengunjunginya di masjid sampai pintu masjid. Dengan dalil:

أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا

Shofiyah berkata bahwa beliau datang menziarahi nabi dalam I’tikaf beliau di sepuluh akhir romadhon lalu berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, kemudian bangkit pulang. Rasulullah pun bangkit bersamanya mengantar sampai ketika di pintu masjid di dekat pintu rumah Ummu Salamah, lewatlah dua orang Anshor, lalu keduanya memberi salam kepada Nabi dan beliau berkata kepada keduanya: “Perlahan, sesungguhnya dia adalah Shofiyah bintu Huyaiy. Lalu keduanya berkata: “Subhanallah, wahai Rasululloh” dan keduanya menganggap hal yang besar. (Bukhori)

6. Wanita boleh beri’tikaf dimasjid selama aman dari fitnah, dengan dalil:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi beri’tikaf di sepuluh akhir dari romadhon sampai wafat kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.” (Bukhori 1886)

Larangan-Larangan dalam I’tikaf

Orang yang sedang beri’tikaf tidak diperbolehkan keluar dari masjid hanya untuk keperluan sepele dan tidak penting, artinya tidak bisa dikategorikan sebagai keperluan syar'i. Jika ia memaksa keluar untuk hal-hal yang tidak perlu tersebut, maka i’tikafnya batal. Selain itu, ia juga dilarang melakukan segala perbuatan haram seperti ghibah (menggunjing), tajassus (mencari-cari kesalahan orang), membaca dan memandang hal-hal yang haram. Pendeknya semua perkara haram di luar i’tikaf, maka pada saat i’tikaf lebih ditekankan lagi keharamannya. Mu’takif juga dilarang untuk menggauli istrinya, karena hal itu membatalkan i’tikafnya.

Hikmah dan Manfaat i’tikaf

I’tikaf memiliki hikmah yang sangat besar yakni menghidupkan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan menghidupkan hati dengan selalu melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah Ta'ala.

Sedangkan manfaat i’tikaf di antaranya:

* Untuk merenungi masa lalu dan memikirkan hal-hal yang akan dilakukan di hari esok.

* Mendatangkan ketenangan, ketentraman dan cahaya yang menerangi hati yang penuh dosa.

* Mendatangkan berbagai macam kebaikan dari Allah subhanahu wata’ala. Amalan-amalan kita akan diangkat dengan rahmat dan kasih sayang-Nya

* Orang yang beri’tikaf pada sepuluh hari terkahir akhir bulan Ramadhan akan terbebas dari dosa-dosa karena pada hari-hari itu salah satunya bertepatan dengan lailatul qadar.


Mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala memberikan taufik dan inayah-Nya kepada kita agar dapat menjalankan i’tikaf sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, terutama di bulan Ramadhan yang mulia ini.

Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, segenap keluarga dan shahabatnya, Amiin. (Dinukil dari artikel oleh Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman al-Jibrin)


Sumber :

http://www.almanhaj.or.id/content/1146/slash/0

http://www.alsofwah.or.id/?pilih=rdnlihat&id=10

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/petunjuk-nabi-dalam-itikaf-zakat-fithroh-dan-berhari-raya.html