Kamis, 12 Agustus 2010

Hukum Mengucapkan Ta'liq Talaq Sesudah Aqad Nikah Menurut Keputusan Muktamar NU dan Fatwa MUI

MASALAH DINIYAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDATUL ULAMA KE-3 Di Surabaya pada tanggal 12 Rabiul Tsani 1347 H / 28 September 1928 M.


37. Soal :

Bagaimana pendapat Muktamar tentang hukum Ta'liq talaq sesudah aqad nikah berlangsung atas perintah penghulu / naib, sebagaimana berlaku di Indonesia ?

Jawab :



Perintah penghulu / naib untuk mengucapkan ta'liq talaq itu hukumnya kurang baik karena ta'liq talaq itu sendiri hukumnya makruh. Walaupun demikian, ta'liq talaq itu sah, artinya bila dilanggar dapat jatuh talaqnya.

Keterangan : Dalam Kitab I'anatut Thalibin Juz. IV

49. Soal :

Bagaimana pendapat Muktamar tentang seorang lelaki yang mempunyai isteri, melamar seorang wanita dan menyatakan bahwa ia tidak mempunyai istri dengan maksud supaya lamarannya diterima. Apakah pengakuannya itu berarti mencerai istrinya ?

Jawab :

Ucapan dan pengakuan tersebut dianggap sebagai pernyataan cerai yang tidak terang (kiyanah talaq). Sedang terjadi perceraian atau tidak, adalah tergantung kepada niatnya sendiri.

Keterangan : Dalam Kitab Syarakh Muhazdhab Juz. II

*Dikutip dari buku : "Masalah Keagamaan" hasil Muktamar/Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang, Kata Pengantar Menteri Agama Maftuh Basuni.


_________________________________________________


Ta'liq Talaq

Yang dimaksud ta'liq talaq ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talaq yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. (KHI Pasal 1 huruf e) Sighat ta'liq ini terdapat pada buku nikah bagian belakang. Pada umumnya, setelah ijab kabul selesai, mempelai laki-laki diminta untuk membacanya. Sebagian dari masyarakat kita, beranggapan bahwa hal yang demikian (sighat ta'liq talaq) tidak ada tuntunannya dalam Islam. Tidak ada sunnahnya dalam Islam. Hal tersebut dianggap sebagai bid'ah (sesuatu yang baru, yang diada-adakan, tidak ada asalnya dalam Islam, menyerupai syariat, dan dianggap beribadah), dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan ada di neraka. Hal ini membuat mereka enggan (baca:tidak mau) untuk mengucapkannya. Kalaupun mengucapkan, itu karena terpaksa.

Ribut karena Sighat Ta'liq Talaq

Terkadang, mempelai yang mempunyai keyakinan seperti di atas, ribut-ribut dengan Pegawai Pencatat Perkawinan (biasanya dari KUA setempat) . Di satu sisi, yang bersangkutan ingin menjalankan upacara pernikahan sesuai dengan tuntunan Islam, tidak terkotori oleh maksiat dan bid'ah; di sisi lainnya, dia mesti mengikuti aturan negara. Mempelai yang bersangkutan berpendirian perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya; rukun dan syarat nikah dan terpenuhi, so .. nikahnya sudah sah. Adapun aturan negara itu ia berpendapat hal itu merupakan suatu kemaksiatan kepada Allah (karena sighat ta'liq talaq tidak ada tuntunannya dalam Islam / bid'ah). Oleh karena itu, ia tidak harus melakukan sighat ta'liq talaq tersebut.

Pegawai Pencatat Perkawinan ataupun pihak lainnya yang berkepentingan (misal: keluarga mempelai putri) bersikeras agar mempelai laki-laki membaca sighat ta'liq talaq. Mereka tidak sepakat terhadap mempelai laki-laki; aturan negara mesti ditegakkan.

Sangat disayangkan apabila ribut-ribut tersebut terjadi di hadapan tamu undangan pada hari H. Di satu pihak mengharuskan membaca, pihak lainnya bersikeras menolak. Selain mengganggu kekhidmatan acara, juga terlihat janggal bagi tamu undangan.

Ta'liq Talaq dalam KHI

Penulis tidak akan membahas sighat ta'liq talaq dalam sudut pandang ajaran Islam. Hal ini bukan kompetensi penulis. Di sini penulis ingin membawakan kedudukan ta'liq talaq dalam peraturan hukum positif yang berlaku di wilayah Republik Indonesia.

Menurut KHI, perjanjian ta'liq talaq bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan. Hal ini kita dapat kita baca di dalam pasal 46 ayat (3),"Perjanjian ta'liq talaq bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta'liq talaq sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali."

Ayat tersebut jelas menyebutkan bahwa perjanjian ta'liq talaq bukanlah suatu keharusan bagi setiap muslim.

Fatwa MUI

Sidang komisi Fatwa MUI, yang berlangsung diruang rapat MUI, Masjid Istiqlal Jakarta, pada 23 Rabi'ul Akhir 1417 H/ 7 September 1996, berpendapat bahwa materi yang tercantum dalam sighat ta'liq talaq pada dasarnya telah dipenuhi dan tercantum dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. KHI pasal 46 ayat (3) mengatur bahwa perjanjian ta'liq talaq bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan.

Di dalam fatwa yang ditandatangani oleh Ketua MUI: K.H. Hasan Basri, Sekretaris MUI: Drs.H. A. Nazri Adlani, dan Ketua Komisi Fatwa Prof.K.H.Ibrahim Hosen, LML ini, disebutkan bahwa "Pengucapan sighat ta'liq talaq, yang menurut sejarahnya untuk melindungi hak-hak wanita ( isteri ) yang ketika itu belum ada peraturan perundang-undangan tentang hal tersebut, sekarang ini pengucapan sighat ta'liq talaq tidak diperlukan lagi. Untuk pembinaan ke arah pembentukan keluarga bahagia sudah di bentuk BP4 dari tingkat pusat sampai dengan tingkat kecamatan.

Tak Perlu Ribut

Sudah jelas bagi kita kedudukan sighat ta'liq talaq ini di dalam peraturan negara. Menurut KHI hal tersebut bukanlah suatu keharusan (tidak wajib). Komisi fatwa MUI berpendapat bahwa sighat ta'liq talaq sudah tidak diperlukan lagi. Oleh karena itu, bagi kaum muslimin yang tidak mau membaca sighat ta'liq talaq , tak perlu risau. Tidak ada yang mengharuskan untuk membaca hal tersebut seusai akad nikah.

Bagi yang ingin melakukan akad nikah, agar kisah di atas tidak terulang lagi; beberapa hari sebelum akad nikah, bicaralah baik-baik dengan pihak keluarga putri, sampaikan bahwa kita tidak ingin membaca hal tersebut. Jelaskan alasan kita sejelas dan sebijaksana mungkin. Kemudian, bicarakan hal ini baik-baik dengan Pegawai Pencatat Perkawinan (biasanya dari KUA). Tak perlu ngotot-ngotan, tak perlu rame dan ribut-ribut. Bicaralah dengan santun dan kepala dingin. Ingat, anda memiliki kartu As. Apabila yang bersangkutan bersikeras agar kita membacanya, beritahukan dengan sopan aturan negara mengenai hal ini. Sampaikan pasal 46 ayat (3) KHI dan fatwa dari komisi fatwa MUI di atas.


Wallahu a'lam

Anwar Baru Belajar