Kamis, 26 Agustus 2010

Hijrah Di Jalan Allah

Oleh : Syaikh Dr Fadhl Ilahi

Allah Azza wa Jalla menjadikan hijrah di jalan Allah sebagai kunci di antara kunci-kunci rizki. Saya akan membicarakan masalah ini –dengan memohon taufik Allah- melalui dua point berikut ini.

Pertama, Makna Hijrah Di Jalan Allah Ta’ala.

Kedua, Dalil Syar’i Bahwa Hijrah Di Jalan Allah Termasuk Kunci Rizki.



Pertama, Makna Hijrah Di Jalan Allah Ta’ala

‘Al-Muhajarah’ (Hijrah) sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Raghib Al-Asfahani [1] adalah keluar dari negeri kafir kepada negeri iman, sebagaimana para sahabat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah.

Dan hijrah di jalan Allah itu, sebagaimana dikatakan oleh Sayid Muhammad Rasyid Ridha [Lihat Tafsirul Manar 5/359] harus dengan sebenar-benarnya. Artinya, maksud orang yang berhijrah dari negerinya itu adalah untuk mendapatkan ridha Allah dengan menegakkan agamaNya yang ia merupakan kewajiban baginya, dan merupakan sesuatu yang dicintai Allah, juga untuk menolong saudara-saudaranya yang beriman dari permusuhan orang-orang kafir.

Kedua, Dalil Syar'i Bahwa Hijrah Di Jalan Allah Termasuk Kunci Rizki.

Diantara dalil yang menunjukkan bahwa berhijrah di jalan Allah termasuk kunci rizki adalah firman Allah.

"Artinya : Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak" [An-Nisaa : 100]

Dalam ayat yang mulia ini, Allah menjanjikan bahwa orang yang berhijrah di jalan Allah akan mendapati dua hal : Pertama 'muraagama katsiiran", Kedua 'sa'atan'

Yang dimaksud 'muragamaa' sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Razi adalah, barangsiapa berhijrah di jalan Allah ke negeri lain, niscaya akan mendapat di negerinya yang baru itu kabaikan dan kenikmatan yang menjadi sebab kehinaan dan kekecewaan para musuhnya yang berada di negeri asalnya. Sebab orang yang memisahkan diri dan pergi ke negeri asing, sehingga mendapatkan ketentraman di sana, lalu berita itu sampai kepada negeri asalnya, niscya penduduk asli negeri itu akan malu atas buruknya mu'amalah (perlakuan) yang mereka berikan, sehinga dengan demikian mereka merasa hina. [2]

Sedangkan yang dimaksud, 'sa'atan' (keluasan), yaitu keluasan rizki. Inilah yang dikatakan oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu dalam menafsirkan ayat ini. Juga dikatakan oleh Ar-Rabi', Adh-Dhahhak [3], Atha [4] dan mayoritas ulama [5]

Qatadah berkata : "Maknanya, keluasan dari kesesatan kepada petunjuk dan dari kemiskinan kepada banyaknya kekayaan" [Tafsir Al-Qurthubi, 5/348. Lihat pula, Tafsir Ibni Katsir 1/597]

Imam Malik berkata : "Keluasan yang dimaksud adalah keluasan negeri" [Tafsir Al-Qurthubi, 5/348. Lihat pula, Ruhul Ma'ani 5/127]

Mengomentari ketiga pendapat diatas, Imam Al-Qurthubi mengatakan : "Pendapat Imam Malik lebih dekat pada kefasihan ungkapan bahasa Arab. Sebab keluasan negeri dan banyaknya bangunan menunjukkan keluasan rizki. Juga menunjukkan kelapangan dada yang siap menanggung kesedihan dan pikiran serta hal-hal lain yang menunjukkan kemudahan" [Tafsir Al-Qurthubi 5/348]

Pendapat mana saja yang kita ambil dari ketiga pendapat di atas, yang jelas semuanya menunjukkan bahwa orang yang berhijrah di jalan Allah akan mendapatkan janji dari Allah merupakan keluasan rizki, baik dengan ungkapan langsung maupun secara tidak langsung.

Dan sungguh janji Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Menentukan adalah suatu janji yang haq serta tidak pernah luput. Dan siapakah yang lebih menetapi janjinya daripada Allah ?

Sungguh dunia telah dan sampai sekarang masih menyaksikan kebenaran janji ini. Dan saya kira, orang yang mengetahui sedikit tentang sejarah Islam pun sudah tahu akan peristiwa hijrahnya para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah.

Ketika para sahabat meninggalkan rumah-rumah, harta benda dan kekayaan mereka untuk hijrah di jalan Allah Ta'ala, Allah serta merta mengganti semuanya, Allah memberikan kepada mereka kunci-kunci negeri Syam, Persia dan Yaman. Allah berikan kepada mereka kekuasaan atas istana-istana negeri Syam yang merah, juga istana Mada'in yang putih. Kepada mereka juga dibukakan pintu-pintu Shan'a, serta ditundukkan untuk mereka berbagai simpanan kekayaan Kaisar dan Kisra.

Imam Ar-Razi menjelaskan kesimpulan tafsir ayat yang mulia ini berkata : "Walhasil, seakan-akan dikatakan, 'Wahai manusia ! Jika kamu membenci hiijrah dan tanah airmu hanya karena takut mendapatkan kesusahan dan ujian dalam perjalananmu, maka sekali-kali jangan takut ! Karena sesungguhnya Allah Ta'ala akan memberimu berbagai nikmat yang agung dan pahala yang besar dalam hijrahmu. Hal yang kemudian menyebabkan kehinaan musuh-musuhmu dan menjadi sebab bagi kelapangan hidupmu" [At-Tafsirul Kabir 11/15]


[Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau’il Kitab was Sunnah, edisi Indonesia Kunci-Kunci Rizki Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah hal 75-78, Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc. Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an, dari asal kata hajaro, hal. 537. Lihat pula, Tahriru Alfadhit Tanbih, hal. 313 dan Kitab At-Ta'rifat, hal. 277
[2] At-tafsirul Kabir, 11/15. Lihat pula Tafsir Al-Qasimi, 5/407, Tafsir At-Tahrir wa Tanwir 5/180 di mana di dalamnya disebutkan, "Ia akan mendapatkan tempat yang dengannya akan merasa hina orang yang menghinakannya. Dengan kata lain, ia bisa menang atas kaummnya karena bebas merdeka dari mereka, sebagaimana ia bebas dari pemaksaan mereka untuk menjadi orang kafir"
[3] Lihat Al-Muharrar Al-Wajiz 4/228, Zadul Masir 2/179, Tafsir Al-Qurthubi 5/348
[4] Lihat Fathul Qadir 1/764
[5] Lihat Zadul Masir 2/179 Ruhul Ma'ani 5/127, Tafsir Al-Manar 5/359, Aisarut Tafasir 1/445]
_________________________________

Hijrah, Masihkah ?


Sesungguhnya menjaga dan menyelamatkan agama lebih mulia dan lebih utama daripada hanya sekedar menyelamatkan dunia. Untuk itulah, Allah ’azza wa jalla memerintahkan kaum muslimin yang tertindas, terfitnah agamanya, tidak kuasa menegakkan syi’ar-syi’ar Islam agar melakukan hijrah atau meninggalkan kampung yang rusak menuju kampung yang bisa menyelamatkan agamanya. Allah berfirman :
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ أَرْضِي وَاسِعَةٌ فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ
”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja.” [QS. Al-Ankabuut : 56].
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
”Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 97].
Al-Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata : ”Ayat yang mulia ini turun mencakup untuk setiap orang yang tinggal di tengah-tengah orang-orang musyrik sedangkan ia mampu hijrah dan dia tidak mampu untuk menegakkan agama, maka sesungguhnya dia mendhalimi dirinya dan melakukan keharaman dengan ijma’ ulama dan berdasarkan ketegasan ayat ini”.[1]
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : ”Ini adalah ancaman yang sangat keras, yang menunjukkan wajib, sebab menegakkan kewajiban agama hukumnya wajib bagi yang mampu, sedangkan tidak mungkin hal itu terpenuhi kecuali dengan hijrah, maka hijrahnya jadi ikut wajib”.[2]
Dan tidak ragu lagi bahwa keumuman ayat ini juga mencakup lebih dari sekedar hijrah dari negeri kafir, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam Tafsirnya 5/346, katanya : ”Dalam ayat ini terdapat dalil tentang hijrah dari kampung yang banyak maksiat di dalamnya. Sa’id bin Jubair berkata : ”Apabila banyak kemaksiatan di suatu kampung, maka keluarlah dari kampung itu, beliau seraya membaca ayat di atas”.[3]
Namun, anehnya masih banyak kalangan yang belum memahami masalah hijrah ini atau ada yang mengerti tapi karena cinta dunia maka diapun melalaikannya. Tak cukup hanya itu, tatkala ada seorang ulama Sunnah yang berfatwa sesuai dalil, maka mereka dengan kejahilan dan kecintaan dunianya menudingnya sebagai antek Yahudi, setan, gila, dan gelar-gelar memalukan lainnya ! Oleh karena itu, kami merasa penting untuk membahas masalah ini untuk menghilangkan kabut yang menghalangi terangnya matahari.
Wallaahu a’lam.
TEKS HADITS
عَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لا تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
Dari Mu’awiyyah, dia berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Hijrah tidak terputus sehingga taubat terputus, dan taubat tidak terputus sehingga matahari terbit dari barat”.
Shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/99, Abu Dawud 2479, Ath-Thabarani 19/387/907, Al-Baihaqi 9/17, Ad-Darimi 2513, Nasa’i 8711, Abu Ya’la 737. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 1208.
HIJRAH TERUS BERLANGSUNG HINGGA HARI KIAMAT [4]
Sebagian orang mengira bahwa hadits-hadits di atas telah dihapus secara mutlak dengan hadits :
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَلَكِنْ جِهَادٌُ وَنِيَّةٌُ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
”Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, tetapi (yang ada adalah) jihad dan niat. Maka apabila kalian diperintahkan jihad, maka berangkatlah” [HR. Bukhari 3077 dan Muslim 1353].
Sungguh, ini adalah kejahilan yang nyata terhadap Al-Qur’an, hadits, dan ucapan para imam.[5] Berikut ini beberapa untaian ilmu ulama yang menjelaskan bahwa hijrah tetap ada hingga hari kiamat dan tidak ada kontradiksi antara hadits pembahasan dengan hadits ini serta fatwa-fatwa mereka untuk hijrah di saat keadaan menuntutnya :
  1. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : ”Kedua hadits ini benar. Hadits pertama maksudnya adalah hijrah yang ada pada jaman Nabi, yaitu hijrah ke Madinah baik dari Makkah atau negeri-negeri Arab lainnya. Hijrah ini disyari’atkan tatkala Makkah dan lainnya masih sebagai negeri kafir dan keimanan ada di Madinah, sehingga bagi orang yang mampu dia wajib hijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam. Tatkala kota Makkah telah ditaklukkan dan menjadi negeri Islam dan orang-orang Arab masuk Islam, maka Nabi bersabda : Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah. Adapun penilaian bahwa negara ini negara Islam atau kafir atau fasiq, ini tergantung kepada penduduknya. Kalau memang penduduk negara tersebut adalah orang-orang beriman, maka itu adalah negara Islam. Tapi jika penduduknya adalah orang-orang kafir maka itu adalah negara kafir pada saat itu. Dan jika suatu saat penduduknya berganti, maka nama negaranya juga berganti”.[6]
  2. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata setelah membawakan hadits-hadits tentang hijrah setelah Fathu Makkah : ”Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa hijrah telah terputus setelah Fathu Makkah, karena manusia telah masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, Islam telah nampak menang, pondasi-pondasinya kuat, maka tidak perlu hijrah. Kecuali bila muncul suatu keadaan yang menuntut hijrah karena jajahan orang-orang kafir dan tidak mampu menampakkan agama di tengah-tengah mereka, maka ketika itu hijrah menuju negeri Islam hukumnya wajib. Hal ini tidak ada perselisihan di kalangan ulama”. [7]
  3. Imam Nawawi rahimahullah berkata : ”Makna tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, yakni tidak ada hijrah dari Makkah karena Makkah telah menjadi negara Islam”.[8] Beliau juga berkata : ”Apabila seorang muslim merasa lemah di negara kafir, dia tidak mampu menampakkan agama Allah, maka haram baginya tinggal di tempat tersebut dan wajib baginya hijrah ke negeri Islam.... Apabila dia tidak mampu hijrah, maka dia diberi udzur sampai dia mampu”.[9]
  4. Imam Ibnul-’Araby Al-Maliki rahimahullah berkata : ”Keluar dari negara kafir ke negara Islam. Dahulu wajib di jaman Nabi, dan hijrah ini akan terus berlangsung sampai hari kiamat”.[10]
  5. Al-’Aini rahimahullah berkata : ”Adapun hijrah dari tempat yang seseorang tidak bisa menampakkan agama di dalamnya, maka hal itu merupakan kewajiban dengan kesepakatan ulama” [’Umdatul-Qaari’ 14/80].
  6. Syaikh Abdul-Lathif bin ’Abdirrahman rahimahullah berkata : ”Karena dosa ini, yakni tidak hijrah termasuk dosa besar yang pelakunya terancam dengan ancaman yang keras berdasarkan Al-Qur’an dan kesepakatan ahli ilmu kecuali bagi orang yang bisa menampakkan agamanya...” [Ad-Durarus-Saniyyah hlm. 146].
  7. Syaikh ’Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata : ”Keterangan ahli ilmu dalam masalah ini banyak sekali. Mereka semua bersepakat tentang wajibnya hijrah apabila seseorang tidak mampu menampakkan agamanya; dan sunnah hukumnya apabila seseorang mampu menampakkan agamanya. Setelah ini, tidak boleh bagi seseorang untuk keluar dari ucapan mereka..” [Majmu’atul-Kamilah 7/69].
  8. Para ulama besar Islam dalam kurun waktu yang berbeda dan dalam keadaan yang mirip, mereka mengeluarkan fatwa untuk hijrah, seperti Al-’Allamah Muhammad Al-’Abdusi (849 H) terhadap penduduk Granada – salah satu kota di Andalusia (Spanyol) – ketika jatuh ke tangan orang-orang kafir sebagaimana dalam kitab Al-Hadiqah Al-Mustaqillah An-Nadhiirah. Demikian juga Al-’Allamah Ahmad bin Yahya Al-Wansyari (914 H) mengeluarkan fatwa tentang wajibnya hijrah dari Andalusia bagi mereka yang tertimpa fitnah dalam agama dan jiwanya sehingga beliau menulis buku khusus berjudul : ”Asna Al-Matajir Fii Bayaani Ahkaami Man Ghalaba ’alaa Wathanihi An-Nashaaraa wa lam Yuhaajir ww Maa Yatarattabu ’alaihi Minal-’Uquubbaat waz-Zawaajir”. Demikian juga Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah (748 H) tatkala ditanya tentang penduduk Mardin, sebuah kota di Syam yang dijajah musuh Islam saat itu, apakah mereka wajib hijrah ? Beliau menjawab : ”Penduduk di sana yang tidak mampu menegakkan agamanya, maka wajib berhijrah. Bila masih mampu, maka hukumnya sunnah, tidak wajib”.[11]
Masih banyak lagi sebenarnya ucapan ulama tentang permasalahan ini, namun semoga apa yang kami nukil di atas telah mencukupi. Wallaahu a’lam.
MAKNA HIJRAH
Hijrah secara bahasa artinya meninggalkan, berpisah, atau menjauhi [12], seperti firman Allah tentang Nabi Ibrahim :
إِنِّي مُهَاجِرٌ إِلَى رَبِّي
”Sesungguhnya aku akan berpindah ke Rabb-ku” [QS. Al-Ankabut : 26].
Adapun maksudnya di sini adalah berpindah dari negeri kafir menuju negeri Islam, seperti kalau ada seorang muslim tinggal di Amerika dan dia tidak mampu menampakkan agamanya di sana, lalu dia pindah ke negeri Islam. Maka ini disebut hijrah.
Negara kafir yaitu negara yang nampak syi’ar-syi’ar kekufuran dan tidak nampak di sana syi’ar-syi’ar Islam seperti adzan, shalat jama’ah, shalat Jum’at, ’Ied, dan sebagainya secara merata. Adapun negara Islam adalah negara yang nampak di sana syi’ar-syi’ar Islam secara merata.[13]
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : ”Hijrah bermakna meninggalkan, dan dalam syara’ adalah meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah. Hijrah dalam Islam itu ada dua :
Pertama : Berpindah dari kampung yang tidak aman menuju kampung yang aman, seperti dalam hijrah ke Habasyah atau awal hijrah dari Makkah ke Madinah.
Kedua: Berpindah dari negeri kafir menuju negeri Iman. Hal ini setelah Nabi menetap di Madinah dan kaum muslimin yang mampu telah berhijrah ke sana. Waktu itu, hijrah hanya khusus ke Madinah sampai kota Makkah ditaklukkan maka kekhususan itu tidak berarti lagi, sehingga hijrah menjadi umum dari setiap negeri kafir bagi yang mampu”.[14]
MACAM-MACAM HIJRAH
Saudaraku, ketahuilah bahwa hijrah ada tiga macam :
  1. Hijrah tempat. Inilah yang dimaksud dalam hadits pembahasan ini. Hukum hijrah ini adalah wajib bagi setiap muslim yang tidak bisa menegakkan syi’ar-syi’ar Islam di negeri kafir.
  2. Hijrah 'amal (perbuatan)
    Yakni meninggalkan dosa dan kemaksiatan. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
  3. وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
    ”Dan Al-Muhaajir adalah orang yang meninggalkan larangan Allah” [HR. Bukhari 6484 dan Muslim 41].
  4. Hijrah 'amil (orang yang berbuat)
    Yakni meninggalkan ahli bid’ah dan kemaksiatan bila hajr membuatnya jera dari bid’ah dan kemaksiatannya. Adapun bila dalam hajr tidak ada maslahatnya, maka tidak perlu dihajr. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
    لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍِ أَنْ يَحْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍِ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا اللَّذِيْ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
    ”Tidak halal bagi seorang mukmin untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari, keduanya saling bertemu dan masing-masing berpaling, dan yang lebih baik dari keduanya adalah yang memulai salam” [HR. Bukhari 6077 dan Muslim 2560].[15]
TINGGAL DI NEGERI KAFIR
Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
أَنَا بَرِيءٌُ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍِ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِيْنَ
”Saya berlepas diri dari seorang muslim yang tinggal di tengah-tengah musyrikin” [HR. Abu Dawud 2645, Tirmidzi 1604, Ath-Thabarani dalam Mu’jamul-Kabiir 2264, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghaliil 1207].
Ibnu ’Arabi As-Shufi pernah berkata : ”Wajib bagimu untuk hijrah dan jangan tinggal di tengah-tengah orang kafir, karena hal itu akan menghinakan agama Islam dan meninggikan kalimat kekufuran di atas kalimat Allah. Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan perang kecuali untuk meninggikan kalimat Allah dan merendahkan kalimat kekufuran. Ketahuilah bahwa orang yang tinggal di tengah-tengah orang-orang kafir padahal dia mampu untuk keluar dari mereka, tidak ada baginya bagian dalam Islam, karena Nabi telah berlepas darinya”.[16]
Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah berkata : ”Tinggal di negeri kafir sangat berbahaya sekali bagi agama seorang muslim, akhlaq, dan adabnya. Kami telah menyaksikan dan juga selain kami, betapa banyak kalangan yang tinggal bersama mereka kemudian pulang menjadi orang-orang fasiq. Bahkan ada yang murtad dari agama Islam. Kita berlndung kepada Allah. Sehingga mereka menolak agama Allah dan mencela agama Islam serta orang-orang yang berpegang kepada agama Islam. Oleh karena itu, harus hati-hati dan dibuat persyaratan agar tidak terjatuh dalam kubang kehancuran tersebut. Jadi, tinggal di negeri kafir harus terpenuhi dua syarat utama :
Pertama : Terjaga agamanya orang tersebut, dimana dia memiliki ilmu dan iman sehingga dia bisa tegar di atas agamanya dan dapat menangkis segala kerancuan dan penyimpangan, serta menampakkan permusuhan terhadap orang-orang kafir, karena loyalitas kepada mereka bertentangan dengan keimanan.
Kedua : Dia mampu menampakkan agamanya dengan menjalankan syi’ar-syi’ar Islam tanpa ada larangan seperti melaksanakan shalat Jum’at, jama’ah, zakat, puasa, haji, dan syi’ar-syi’ar yang lainnya. Bila dia tidak mampu untuk menegakkannya, maka tidak boleh baginya untuk tinggal di sana dan dia wajib hijrah”.[17]
MACAM-MACAM ORANG YANG TINGGAL DI NEGERI KAFIR
Seorang muslim yang tinggal di negeri kafir bermacam-macam keadaannya :
  1. Dia mampu hijrah dan tidak memapu menampakkan agamanya. Golongan ini wajib untk hijrah sebagaimana dalil-dalil di atas. Apalagi kita harus ingat bahwa banyak sekali bahaya dan dampak negatif tinggal di negeri kafir, di antaranya : a. Seorang muslim akan mendapat kerancuan dalam ’aqidah dan agamanya.b. Banyak faktor yang membuatnya menyimpang dan tersesat.c. Akan ikut-ikutan dengan gaya hidup barat.d. Akhlaqnya akan menjadi rusak dan dia akan terjatuh dalam lubang kenistaan.
  2. Orang yang tidak mampu hijrah dan tidak mampu untuk menampakkan agamanya, seperti lanjut usia, sakit berkepanjangan, orang yang yang disandera, dipaksa, atau orang-orang lemah seperti wanita dan anak-anak.
    Golongan ini tidak wajib hijrah dan boleh tetap tinggal di negeri kafir.
    إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا * فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
    ”Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita atau pun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” [QS. An-Nisaa’ : 98-99].
  3. Mampu untuk hijrah dan dia mampu menampakkan agamanya. Golongan ini disunnahkan untuk hijrah (tidak wajib) untuk memperkuat kekuatan kaum muslimin dan memperbanyak jumlah mereka. Apalagi hal itu banyak maslahat yang akan didapat seperti menyaksikan jenazah, menjenguk orang sakit, menebarkan salam, dan sebagainya.
    وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الأرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
    ”Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. An-Nisaa’ : 100].
  4. Mampu berdakwah dan menampakkan agamanya, serta membawa kemaslahatan yang banyak bagi kaum muslimin. Golongan ini disunnahkan untuk tetap tinggal di negeri kafir tersebut.