Oleh Syaikh Wahid bin ‘Abdis Salam Baali
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al Jum'ah : 9)
Sebagian kaum muslimin ada yang meninggalkan shalat Jum’at karena sikap meremehkannya serta lengah untuk menjunjung tinggi syi’ar-syi’ar agama Allah, yang dalam hal itu Dia telah menyatakan dengan firman-Nya:
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang-siapa mengagungkan syi'ar-syi'ar agama Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [Al-Hajj: 32]
Dan hendaklah orang yang suka mengabaikan shalat Jum’at mengetahui bahwa dengan demikian itu dia telah melakukan perbuatan dosa besar sekaligus kejahatan yang besar. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengadzabnya dengan mengunci mati hatinya, sehingga dia tidak akan pernah tahu suatu kebaikan dan tidak juga dapat mengingkari kemungkaran. Dia pun tidak akan pernah merasakan nikmatnya Islam serta tidak pula merasakan manisnya iman.
Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Keduanya pernah mendengar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas pilar-pilar mimbarnya
“Hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at atau Allah akan mengunci mati hati mereka yang kemudian mereka termasuk orang-orang yang lalai.” [1]
At-Tirmidzi juga meriwayatkan dan menilainya hasan, serta dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani.
Dari Abu al-Ja’d adh-Dhamri Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at karena meremehkannya, maka Allah akan mengunci mati hatinya.” [2]
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban disebutkan
“Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at tiga kali tanpa alasan yang dibenarkan, maka dia adalah seorang munafiq.” [3]
Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan
“Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at berturut-turut, sungguh dia telah men-campakkan Islam ke belakang punggungnya.” [4]
MENGULUR WAKTU DATANG KE MASJID SEHINGGA KHATIB NAIK MIMBAR
Di antara kaum muslimin ada yang berlambat-lambat ketika mendatangi shalat Jum’at sehingga khatib naik mimbar. Padahal dengan demikian itu mereka telah kehilangan banyak kebaikan serta pahala yang melimpah.
Di dalam ash-Shahiihain (Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim) disebutkan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub kemudian dia berangkat ke masjid, maka seakan-akan dia berkurban dengan unta. Barangsiapa berangkat pada waktu kedua, maka seakan-akan dia berkurban dengan sapi. Barangsiapa berangkat pada waktu ketiga, maka seakan-akan dia berkurban dengan kambing yang bertanduk. Barangsiapa berangkat pada waktu keempat, maka seakan-akan dia berkurban dengan ayam. Dan barangsiapa berangkat pada waktu kelima, maka seakan-akan dia berkurban dengan telur. Jika imam (khatib) telah datang, maka Malaikat akan hadir untuk mendengarkan Khutbah.” [5]
Maksudnya, para Malaikat itu menutup lembaran catatan pahala bagi mereka yang terlambat sehingga tidak mendapatkan pahala yang lebih bagi orang-orang yang masuk masjid (di saat khatib sudah naik mimbar). Pengertian tersebut diperkuat oleh hadits berikut ini:
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dinilai hasan oleh al-Albani. Dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pada hari Jum’at para Malaikat duduk di pintu-pintu masjid yang bersama mereka lembaran-lembaran catatan. Mereka mencatat orang-orang (yang datang untuk shalat), di mana jika imam (khatib) telah datang menuju ke mimbar, maka lembaran-lembaran catatan itu akan ditutup.”
Lalu kutanyakan, “Hai Abu Umamah, kalau begitu bukankah orang yang datang setelah naiknya khatib ke mimbar berarti tidak ada Jum’at baginya?”
Dia menjawab, “Benar, tetapi bukan bagi orang yang telah dicatat di dalam lembaran-lembaran catatan.” [6]
TIDAK MANDI, TIDAK PULA MEMAKAI WANGI-WANGIAN, DAN TIDAK BERSIWAK [MENYIKAT GIGI] PADA HARI JUM’AT
Di antara jama’ah ada juga yang mengabaikan masalah mandi dan memakai wangi-wangian pada hari Jum’at.
Padahal Islam menghendaki kaum muslimin supaya berkumpul pada hari Jum’at pada pertemuan mingguan dalam keadaan sesempurna mungkin, berpenampilan paling baik, serta memakai wangi-wangian yang paling wangi sehingga orang lain tidak terganggu oleh bau yang tidak sedap. Serta tidak juga mengganggu para Malaikat.
Di dalam kitab ash-Shahiihain disebutkan, dari Abu Bakar bin al-Munkadir, dia berkata, ‘Amr bin Sulaim al-Anshari pernah memberitahuku, dia berkata, Aku bersaksi atas Abu Sa’id yang mengatakan, Aku bersaksi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Mandi pada hari Jum’at itu wajib bagi setiap orang yang sudah baligh. Dan hendaklah dia menyikat gigi serta memakai wewangian jika punya.” [7]
Di dalam kitab Shahiih al-Bukhari juga disebutkan, dari Salman al-Farisi, dia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Tidaklah seseorang mandi dan bersuci semampunya pada hari Jum’at, memakai minyak rambut atau memakai minyak wangi di rumahnya kemudian keluar lalu dia tidak memisahkan antara dua orang (dalam shaff) kemudian mengerjakan shalat dan selanjutnya dia diam (tidak berbicara) jika khatib berkhutbah, melainkan akan diberikan ampunan kepadanya (atas kesalahan yang terjadi) antara Jum’atnya itu dengan Jum’at yang berikut-nya.” [8]
[Disalin dari kitab kitab al-Kali-maatun Naafi’ah fil Akhthaa' asy-Syaa-i’ah, Bab “75 Khatha-an fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi Indonesia 75 Kesalahan Se-putar Hari dan Shalat Jum’at, Karya Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Foote Note
[1]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 865), dan an-Nasa-i (no. 1370), serta Ibnu Majah (no. 794).
[2]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 15072), Abu Dawud (no. 1052), at-Tirmidzi (no. 500), an-Nasa-i (no. 1369), Ibnu Majah (no. 1125). Dan at-Tirmidzi mengatakan, “Hadits hasan.”
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 258/Ihsaan), Ibnu Khuzaimah (no. 1857) dengan sanad yang hasan, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Targhiib (no. 726).
[4]. Shahih Mauquf: Dinilai shahih oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Targhiib (no. 732).
[5]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 881) dan Muslim (no. 850).
[6]. Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 21765) dan selainnya yang dinilai hasan oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Targhiib (no. 710).
[7]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 880) dan Muslim (no. 846).
[8]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 883).