Rabu, 02 Maret 2011

Shalawat Nariyah Dalam Timbangan


KEUTAMAAN MEMBACA SHALAWAT

Oleh Ustadz Abdullah Zaen. Lc, MA

Salah satu amalan istimewa dalam ajaran Islam yang dijanjikan pahala berlipat ganda adalah membaca shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Banyak nash (dalil) dari al-Qur’an maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi untuk memperbanyak amalan mulia ini. Di antaranya :

Firman Allah Ta’ala:

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (QS. al-Ahzab/33: 56).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam Tafsirnya[1], Allah Ta’ala memberitahukan kepada para hamba-Nya kedudukan Rasulullah di sisi-Nya di hadapan para malaikat. Allah Ta’ala memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di hadapan mereka, begitu pula mereka bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu AllahTa’ala memerintahkan para penghuni bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar berpadu pujian para penghuni langit dengan para penghuni bumi semuanya untuk beliau.”

Dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bershalawatlah kalian untukku. Sesungguhnya barang siapa bershalawat untukku satu kali, niscaya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali” (HR. Muslim 1/288­289 no. 384)

Dalam Tuhfah al-Ahwadzi, al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan bahwa maksud dari shalawat Allah, untuk para hamba-Nya adalah Allah merahmati mereka dan melipatgandakan pahalanya.

Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan keutamaan membaca shalawat untuk Nabi Karena itulah, tidak mengherankan jika dari dulu, para ulama Islam berlomba-lomba menulis buku khusus guna memaparkan keutamaan membaca shalawat. Contohnya, Fadhlush Shalat ‘ald an-Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Imam Isma’il bin Ishaq al-Qadhi rahimahullah (199-282 H), jala’ul Afham fi Fadhlish Shaldt wa as-Salam ‘ald Muhammadin Khairil Anam karya Imam Ibn Qayyim al-jauziyyah rahimahullah (691-751 H) dan lain-lain.[2]

IKHLAS DAN MENELADANI RASUL SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DALAM BERSHALAWAT

Dari keterangan di atas, nampak begitu jelas bahwa membaca shalawat merupakan ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Dan sebagaimana telah diketahui bersama, berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah serta keterangan para Ulama, bahwa setiap ibadah akan diterima di sisi Allah Ta’ala kalau memenuhi dua syarat. Yakni dijalankan secara ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Fakhruddin ar-Razy rahimahullah (544-606 H) menyimpulkan dua syarat sah ibadah tersebut dari firman Allah Ta’ala :

“Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya, sementara ia juga seorang mukmin; maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (Qs. Al-Isra / 17:19).

Kata beliau rahimahullah, “Syarat pertama, mengharapkan pahala akhirat dari amalannya. jika niat ini tidak ada maka dia tidak akan memetik manfaat dari amalannya. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya” (HR. Bukhari, 1/9 no. 1- al-Fath)

Juga karena tujuan beramal adalah untuk menerangi hati dengan mengenal Allah serta mencintai-Nya. Ini tidak akan tercapai kecuali jika seseorang meniatkan amalannya guna beribadah kepada Allah dan meraih ketaatan pada-Nya.

Syarat kedua, ada dalam firman Allah Ta’ala, yang artinya, “berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya” maksudnya adalah hendaknya amalan yang diharapkan bisa mengantarkan pada akhirat itu adalah amalan yang memang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Dan suatu amalan tidak akan dianggap demikian, kecuali jika termasuk amal ibadah dan ketaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’aladengan melakukan amalan-amalan yang batil”.[3]

Imam Ibn Katsir rahimahullah (700-774 H) mempertegas, “Agar amalan diterima, maka harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah semata dan kedua, benar sesuai syariat. Manakala suatu amalan dikerjakan secara ikhlas, namun tidak benar (sesuai syariat), maka amalan tersebut tidak diterima. Rasulullah bersabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak” (HR. Muslim 3/1343 no. 1718 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha).

Begitu pula jika suatu amalan sesuai dengan syariat secara lahiriyah, namun pelakunya tidak mengikhlaskan niat untuk Allah; amalannya pun juga akan tertolak.”[4]

Karena membaca shalawat merupakan ibadah dan amal shalih, maka supaya amalan tersebut diterima oleh Allah Ta’alaharus pula terpenuhi dua syarat tersebut di atas, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ikhlas dalam bershalawat berarti :

- Hanya mengharapkan ridha Allah Ta’aladan pahala dari-Nya.

- Teks shalawat yang dibaca tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip ikhlas. Atau dengan kata lain, tidak bermuatan syirik dan kekufuran, semisal istighatsah kepada selain Allah Ta’ala, menisbatkan sesuatu yang merupakan hak khusus Allah kepada selain-Nya dan yang semisal. Aturan kedua ini tentunya diterapkan pada teks-teks shalawat produk manusia, bukan berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sebab, jika teks shalawat itu bersumber dari sosok yang ma’shum ,Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ini di luar konteks pembicaraan kita, lantaran tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sesuatu yang berisi kesyirikan dan kekufuran.

Meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bershalawat, maksudnya :

- Mencontoh shalawat yang diajarkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah yang paling utama.

- Bila menggunakan susunan shalawat dari selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,disyaratkan tidak mengandung unsur kesyirikan maupun ghuluw (sanjungan yang berlebihan) kepada beliau.

- Bershalawat untuk beliau pada momen-momen yang beliau syariatkan.[5]

- Memperbanyak membaca shalawat semampunya, dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala dalam QS. al-Ahzab/33:56 dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas.

Setelah pemaparan mukadimah yang berisi beberapa kaidah penting, saatnya kita memasuki inti pembahasan.

SHALAWAT NARIYYAH DALAM TIMBANGAN

Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, amat banyak teks shalawat yang tersebar. Seperti, shalawat Fatih, shalawat Munjiyat, shalawat Thibbul Qulub, shalawat Wahidiyyah, dan tidak lupa sorotan kita ­shalawat Nariyyah. Tidak hanya mencukupkan diri dengan teks shalawat yang dikarang kalangan klasik, mereka juga mengandalkan redaksi-redaksi yang diciptakan kalangan kontemporer. Contohnya, shalawat Wahidiyyah yang dibuat pada tahun 1963 oleh salah satu penduduk Kedunglo Bandar Lor Kediri, KH. Abdul Majid Ma’ruf.[6]

Selain itu, mereka juga sangat ‘kreatif’ dalam membuat aturan-aturan baca berbagai jenis shalawat tersebut, dari sisi jumlah bacaan, waktu pembacaan, hingga fadhilah (keutamaan) yang akan diraih oleh pembacanya. Seakan-akan itu semua ada landasannya dari syariat.

Shalawat Nariyyah merupakan salah satu shalawat yang paling masyhur di antara shalawat­-shalawat bentukan manusia. Orang-orang berlomba untuk mengamalkannya, baik dengan mengetahui maknanya, maupun tidak memahami kandungannya. Bahkan justru barangkali orang jenis kedua ini yang lebih dominan. Banyak orang serta merta mengamalkannya hanya karena diperintah tokoh panutannya, kerabat dan teman, atau tergiur dengan “fadhilah” tanpa merasa perlu untuk meneliti keabsahan shalawat tersebut, juga kandungan makna yang terkandung di dalamnya.

Sebelum mengupas lebih jauh tentang shalawat ini, yang juga terkadang dinamakan dengan Shalawat Tafrijiyah Qurthubiyah, ada baiknya dibawakan dahulu teks lengkapnya : [7]

Ya Alldh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujan pun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau

SIAPAKAH PENCIPTA SHALAWAT NARIYYAH?

Berdasarkan referensi yang ada, kami baru bisa menemukan isyarat yang menunjukkan bahwa pencipta shalawat ini adalah seorang yang bernama as-Sanusy.[8] Namun hingga saat ini kami belum bisa memastikan siapakah nama lengkapnya, sebab yang menggunakan julukan ini amat banyak dan kami belum mendapatkan keterangan yang menunjukkan as-Sanusi manakah yang menciptakan shalawat tersebut. Hanya saja, yang pasti sebutan as-Sanusi ini merupakan bentuk penisbattan kepada tarekat sufi yang banyak tersebar di daerah Maroko, tarekat as-Sanusiyyah.

BENARKAH PENGARANGNYA ADALAH SAHABAT NABI

Di sebuah situs Internet tertulis:

“Sholawat Nariyah adalah sebuah sholawat yang disusun oleh Syekh Nariyah. Syekh yang satu ini hidup pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat Nabi. Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat kerja keras Nabi dalam menyampaikan wahyu Allah, mengajarkan tentang Islam, amal saleh dan akhlaqul karimah sehingga Syekh selalu berdoa kepada Allah memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk Nabi. Doa-doa yang menyertakan nabi biasa disebut sholawat dan Syekh Nariyah adalah salah satu penyusun sholawat nabi yang disebut Sholawat Nariyah.

Suatu malam, Syekh Nariyah membaca sholawatnya sebanyak 4444 kali. Setelah membacanya, beliau mendapat karomah dari Allah. Maka dalam suatu majelis beliau mendekati Nabi Muhammad dan minta dimasukan surga pertama kali bersama Nabi. Dan Nabi pun mengiyakan. Ada seseorang sahabat yang cemburu dan lantas minta didoakan yang sama seperti Syekh Nariyah. Namun Nabi mengatakan tidak bisa karena Syekh Nariyah sudah minta terlebih dahulu.

Mengapa Sahabat itu ditolak Nabi? Dan justru. Syekh Nariyah yang bisa? Para sahabat itu tidak mengetahui mengenai amalan yang setiap malam diamalkan oleh Syekh Nariyah yaitu mendoakan keselamatan dan kesejahteraan Nabinya. Orang yang mendoakan Nabi Muhammad pada hakekatnya adalah mendoakan untuk dirinya sendiri karena Allah sudah menjamin nabi-nabi-Nya sehingga doa itu akan berbalik kepada si pengamalnya dengan keberkahan yang sangat kuat”.[9]

Kesimpulan, pengarang Shalawat Nariyah konon seorang bernama Syekh Nariyah, dan dia. termasuk Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijamin masuk surga oleh beliau.

Sebagai seorang Muslim mestinya tidak begitu saja menerima apa yang disampaikan padanya, tanpa klarifikasi dan penelitian, apalagi jika berkenaan dengan permasalahan agama.

Sekurang-kurangnya ada dua poin yang perlu dicermati dari cerita di atas :

1. Benarkah ada Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nariyah ?
2. Dimanakah sumber kisah tentang Sahabat tersebut ? Dan adakah sanad (mata rantai periwayatan) nya ?

Adapun berkenaan dengan poin pertama, perlu diketahui bahwa biografi para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan perhatian ekstra dari para Ulama Islam. Begitu banyak kitab yang mereka tulis untuk mengupas biografi para sahabat. Ada referensi yang ditulis untuk memaparkan biografi para sahabat beserta para Ulama sesudah mereka hingga zaman penulis, adapula referensi yang ditulis khusus untuk menceritakan biografi para sahabat saja. Diantara contoh model pertama : Hilyatul Auliya’ karya al-Hafizh Abu Nu’aim al-Asfahani (336-430 H) dan Tahdzibul Kamal karya al-Hafizh Abul Hajjaj al-Mizzi (654-742 H). Adapun contoh model kedua, seperti : a1-Isti’ab fi Ma’rifati1 Ash-hab karya al-Hafizh Ibn ‘Abdil Bar (368-463 H) dan al-Ishabatu fi Tamyizish Shahabah karya al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani (773-852 H).

Setelah meneliti berbagai kitab di atas dan juga referensi biografi lainnya, yang biasa diistilahkan para Ulama dengan kutubut tarajim wa ath-thabaqat, ternyata tidak dijumpai seorang pun di antara Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bernama Nariyah. Bahkan sepengetahuan kami, tidak ada seorang pun Ulama klasik yang memiliki nama tersebut. Lalu, dari manakah orang tersebut berasal ??

Sebenarnya, orang yang sedikit terbiasa membaca kitab Ulama, hanya dengan melihat nama tersebut beserta ‘gelar’ syaikh di depannya, akan langsung ragu bahwa orang tersebut benar-benar Sahabat Nabi. Karena penyematan ‘gelar’ syaikh di depan nama Sahabat -sepengetahuan kami- bukanlah kebiasaan para Ulama dan juga bukan istilah yang lazim mereka pakai, sehingga terasa begitu janggal di telinga.

Kesimpulannya : berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bernama Syekh Nariyah. Jadi penisbatan shalawat tersebut terhadap, Sahabat sangat perlu untuk dipertanyakan dan amat diragukan keabsahannya.

Adapun poin kedua, amat disayangkan penulis makalah di internet tersebut tidak menyebutkan sanad (mata rantai periwayatan) kisah yang ia bawakan, atau minimal mengisyaratkan rujukannya dalam menukil kisah tersebut. Andaikan ia mau menyebutkan salah satu dari dua hal di atas niscaya kita akan berusaha melacak keabsahan kisah tersebut, dengan meneliti para perawinya, atau merujuk kepada kitab aslinya. Atau barangkali kisah di atas merupakan dongeng buah pena penulis tersebut ? Jika, ya, maka kisah tersebut tidak ada nilainya; karena kisah fiksi, alias kisah yang tidak pernah terjadi !

Amat disayangkan, dalam hal yang berkaitan dengan agama, tidak sedikit kaum Muslimin sering menelan mentah-mentah suatu kisah yang ia temukan di sembarang buku dan internet, atau kisah yang diceritakan oleh tetangga, teman, guru dan kenalan, tanpa merasa perlu untuk mengcrosscek keabsahannya. Seakan-akan kisah itu mutlak benar terjadi! Padahal kenyataannya seringkali tidak demikian.

Untuk memfilter kisah-kisah palsu dan yang lainnya, Islam memiliki sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki agama lain, yaitu : Islam memiliki sanad (mata rantai periwayatan). Demikian keterangan yang disampaikan Ibn Hazm (384-456 H)[10] dalam al-Fishal dan Ibnu Taimiyyah (661-728 H).[11]

Imam ‘Abdullah bin al-Mubarak (118-181 H) pernah berkata, “Isnad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada isnad, seseorang akan bebas mengatakan apa yang dikehendakinya.”[12]

KANDUNGAN MAKNA SHALAWAT NARIYYAH

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua hajat yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujanpun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para Sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau.”

Bagian dari Shalawat Nariyyah yang kami cetak tebal itulah yang akan dicermati dalam tulisan singkat ini. Kalimat-kalimat tersebut mengandung penisbatan terpecahkannya semua kesulitan, dilenyapkannya segala kesusahan, ditunaikannya segala macam hajat, tercapainya segala keinginan dan husnul khatimah, kepada selain Allah Ta’ala. Dalam hal ini yang mereka maksudkan yang melakukan itu semua adalah Rasalullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penisbatan ini merupakan sebuah kekeliruan fatal, sebab bertolak-belakang dengan al-Qur’an dan Sunnah, serta bisa mengantarkan pelakunya kepada kekufuran. Pasalnya, semua perbuatan tersebut, hanya Allah Ta’ala yang berkuasa melakukannya.

Mari kits cermati nash-nash berikut :

Allah Ta’ala berfirman :

“Siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang melenyapkan kesusahan serta yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi? Adakah tuhan selain Alldh ? Amat sedikit kalian mengingat-Nya” (QS. an-Naml/27:62).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengingatkan bahwa hanya Dia-lah yang diseru saat terjadi kesusahan, dan Dia pula yang diharapkan pertolongan-Nya saat musibah melanda. Demikian keterangan yang disampaikan Imam Ibnu Katsir rahimahullah [13]

Karena itulah, setelahnya Allah Ta’ala melontarkan pertanyaan dalam konteks pengingkaran, “Adakah tuhan selain Allah?”. Hal ini mengisyaratkan, wallahu a’lam, bahwa orang yang tertimpa kesulitan dan kesusahan lalu memohon pertolongan kepada selain Allah Ta’ala, seakan ia telah menjadikan dzat yang diserunya itu sebagai tuhan ‘saingan’ Allah Ta’ala. Sebab tidak ada yang sanggup mengabulkan permohonan tersebut melainkan hanya Allah Ta’ala.

Senada dengan ayat di atas, firman Allah Ta’ala berikut :

Katakanlah, “Siapakah yang dapat menyelamatkan kalian dari bencana di darat dan di laut, yang kalian berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan suara yang lembut (dengan mengatakan), ‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami akan menjadi orang-orang yang bersyukur’. Katakan, “Allahlah yang menyelamatkan kalian dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan. Lantas mengapa kalian kembali mempersekutukan-Nya?!”. (QS. al-An’,kn/6: 63-64)

“Apapun nikmat yang ada dalam diri kalian, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kalian ditimpa marabahaya, maka hanya kepada-Nya­lah (seharusnya) kalian meminta pertolongan” (QS. an-Nahl/16:53)

Dan masih banyak lagi firman Allah yang semakna dengan ayat-ayat di atas, yang menegaskan bahwa segala bentuk kebaikan di dunia maupun akhirat, hanya Allah TA’ala sajalah yang mendatangkannya. Sebagaimana pula segala bentuk keburukan di dunia ataupun akhirat, hanyalah Allah Ta’ala yang menghindarkannya dari diri kita.

Karena itulah, kita dapatkan qudwah kita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pun mencontohkan untuk selalu kembali kepada Allah Ta’ala dalam segala urusan.

Mari kita cermati sebagian dari doa yang beliau baca :

“Ya Alldh, jadikanlah akhir dari seluruh urusan kami baik, dan selamatkanlah kami dari kehinaan dunia dan siksaan akhirat” (HR. Ibnu Hibban 3/230 no. 949)

“Wahai Yang Maha hidup dan Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu-lah aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh keadaanku, dan janganlah Engkau jadikanku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata” (HR. al-Hakim 1/739 no. 2051).

“Ya Alldh, rahmat-Mu-lah yang kuharapkan. Maka janganlah Engkau jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata. Dan perbaikilah seluruh keadaanku. Tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Engkau” (HR. Abu Dawud, 5/204 no. 5090 dari Abu Bakrah, dan dinilai sahib oleh Ibn Hibban (III/250 no. 970).

Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkan seluruh urusan kepada Allah Ta’ala dan memberi kita teladan agar senantiasa mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allah Ta’ala !. Pernahkah beliau -walaupun hanya sekali- mengajarkan kepada umatnya agar bergantung kepada beliau?! Mustahil beliau mengarahkan demikian, sebab beliau sendirilah yang berkata, “Janganlah Engkau (Ya Allah) jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan praktek tawakkal yang begitu tinggi, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin bergantung pada diri sendiri, walaupun itu hanya sesaat, sekedipan mata! Mengapa kita tidak meneladaninya dalam hal ini dan yang lainnya?

Cermati pula doa terakhir!. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup doanya dengan kalimat thayyibah LAILAHAILLALLAH yang menunjukkan -wallahua’lam- bahwa seluruh permintaan di atas adalah bentuk ibadah yang hanya boleh dipersembahkan kepada Allah Ta’ala.

Berdasarkan keterangan di atas yang menyebutkan adanya kesalahan akidah dalam shalawat Nariyah, maka tidak sepantasnya shalawat ini diamalkan oleh umat, baik dengan membaca dan menghafalkannya, apalagi sampai meyakini dan mengharapkan keutamaan darinya.

MEMBACA SHALAWAT NARIYAH BERARTI MENGAGUNGKAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Barangkali inilah argumen terakhir mereka untuk melegalkan pembacaan shalawat Nariyah dan shalawat semisal lainnya. Dengan dalih pengagungan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mempertahankan shalawat yang menyimpang dari ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Bahkan yang lebih parah, ada sebagian mereka yang berusaha mengesankan pada orang awam, bahwa pihak yang mengkritisi shalawat Nariyah tidak mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam! Ini merupakan tindak pemutarbalikan fakta dan harus diluruskan.

Masalah pokok yang perlu diketahui pertama kali yaitu mengagungkan Rasulullah hukumnya wajib. Dan ini merupakan salah satu cabang keimanan yang besar. Cabang keimanan ini berbeda dengan cabang keimanan cinta kepada beliau[14], bahkan pengagungan lebih tinggi derajatnya dibanding cinta. Sebab tidak setiap, yang mencintai sesuatu ia pasti mengagungkannya. Contohnya, orang tua mencintai anaknya, namun kecintaannya hanya akan mengantarkan untuk memuliakannya dan tidak mengantarkan untuk mengagungkannya. Beda dengan kecintaan anak kepada orang tuanya, yang akan mengantarkan untuk memuliakan dan mengagungkan mereka berdua.[15]

Diantara hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang harus ditunaikan oleh umatnya adalah pemuliaan, pengagungan dan penghormatan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengagungan, pemuliaan dan penghormatan harus melebihi pemuliaan, pengagungan dan penghormatan seorang anak terhadap orang tuanya atau budak terhadap majikannya. Allah Ta’ala berfirman :

“Orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an); mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. al-A’raf/7:157)

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama, bahwa yang dimaksud dengan “pemuliaan” dalam ayat di atas adalah pengagungan.[16]

PENGAGUNGAN TERHADAP RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM, BERTEMPAT DI HATI, LISAN DAN ANGGOTA TUBUH[17]

Pengagungan terhadap beliau dengan hati maksudnya adalah meyakini bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allah. Keyakinan ini menyebabkan seseorang mengedepanan kecintaannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kecintaannya terhadap diri sendiri, anak, orang tua dan seluruh manusia.

Keyakinan ini juga menumbuhkan rasa betapa agung dan wibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meresapi kemuliaannya, kedudukannya dan derajatnya yang tinggi.

Hati merupakan raja dari tubuh, manakala pengagungan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghujam kuat dalam hati, niscaya dampaknya secara lahiriah akan nampak jelas. Lisan akan senantiasa basah dengan pujian kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan kemuliaan-kemuliaannya. Begitu pula anggota tubuh akan tunduk menjalankan segala tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam taat kepada syariat dan ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menunaikan segala haknya.

Adapun pengagungan terhadap beliau dengan lisan, maksudnya adalah memuji beliau , dengan pujian yang berhak untuk dimilikinya, yaitu pujian yang Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantunkan untuk beliau, tanpa mengandung unsur berlebihan atau sebaliknya. Dan di antara pujian yang paling agung adalah membaca shalawat untuk beliau.[18]

Kata al-Halimy (338-403 H), shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti pengagungan terhadap beliau di dunia, dengan mengangkat namanya, menampakkan agamanya dan mengabadikan syariatnya. Sedangkan di akhirat, maksudnya adalah permohonan agar limpahan pahala mengalir padanya, syafaat beliau tercurah untuk umatnya dan kemuliaan beliau dengan al-maqam al-mahmud terlihat jelas.[19]

Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan yaitu beradab saat menyebut beliau dengan lisan kita. Caranya adalah dengan menggandengkan nama beliau dengan sebutan Nabi atau Rasulullah, lalu diakhiri dengan shalawat kepada beliau. Allah Ta’ala berfirman :

“Janganlah engkau jadikan panggilan Rasulullah di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain” (QS. an-Nur/24:63)

Karena itulah para sahabat selalu memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan panggilan, “Wahai Rasulullah!” atau “Wahai Nabiyullahl”.

Juga hendaknya penyebutan nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditutup dengan shalawat ; “shallallahu’alaihiwasallam” bukan hanya dengan singkatan SAW atau yang semisal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang pelit adalah orang yang tatkala namaku disebut di hadapannya, ia tidak bershalawat padaku. (HR. Tirmidzi, no. 3546 dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu At-Tirmidzi rahimahullah menyatakan hadits ini “Hasan shahih gharib”).

Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan pula yaitu menyebutkan keutamaan-keutamaan beliau keistimewaan dan mukjizatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenalkan sunnah beliau kepada masyarakat, mengingatkan mereka terhadap kedudukan serta hak beliau mengajarkan pada mereka akhlak dan sifat mulia beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam Menceritakan sejarah hidup beliau serta menjadikannya sebagai pujian, baik dengan bait-bait syair maupun bukan, namun dengan syarat tidak melampaui batas ketentuan syariat, semisal pengagungan yang berlebihan dan yang semisal.

Sedangkan pengagungan dengan anggota tubuh, berarti mengamalkan syariat beliau

meneladani sunnahnya, mengikuti perintahnya secara lahir maupun batin dan berpegang kuat dengannya. Ridha dan ikhlas dengan aturan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa, berusaha menebarkan tuntunannya, membela sunnahnya, melawan mereka yang menentangnya serta membangun kecintaan dan kebencian di atasnya.

Menjauhi segala yang dilarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyelisihi perintahnya dan bertaubat serta beristighfar manakala terjerumus ke dalam penyimpangan.

“Taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan konsekwensi keimanan kepada beliau dan keyakinan akan kebenaran yang dibawanya dari Allah. Sebab beliau tidaklah memerintahkan atau melarang dari sesuatu, melainkan dengan seizin dari Allah.

Sebagaimana dalam firman-Nya :

“Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah” (QS. an-Nisa’/4:64).

Dan makna ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menjalankan perintah-perintahnya serta menjauhi larangan-larangannya.[20]

simpulannya adalah pengagungan yang hakiki terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersimpulkan dalam empat kalimat yaitu mempercayai berita yang bersumber dari beliau, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya dan beribadah dengan tata cara yang disyariatkannya.[21]

RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MELARANG KITA UNTUK BERLEBIHAN DALAM MENGAGUNGKANNYA

Secara garis besar, Allah Ta’ala telah melarang kita dari sikap berlebihan dalam beragama, baik itu dalam keyakinan, ucapan maupun amalan. Sebagaimana dalam QS. an-Nisa’/4:171.

Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang secara khusus dari sikap berlebihan dalam memujinya. Sebagaimana dalam sabdanya,

“Janganlah kalian berlebihan dalam, memujiku Sebagaimana kaum Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “(Muhammad adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari (6/478 no. 3445 —al-Fath) dari Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu).

Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingkari para sahabatnya yang berlebihan dalam memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena khawatir mereka akan melampaui batas, sehingga terjerumus dalam hal yang terlarang. Juga demi menjaga kemurnian tauhid, agar tidak ternodai dengan kotoran syirik dan bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berhati-hati dalam mengantisipasi hal tersebut, bahkan sampaipun dari hal-hal yang barangkali tidak dikategorikan syirik atau bid’ah.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bercerita,

(Suatu hari) ada seseorang yang berkata, “Wahai Muhammad, wahai sayyiduna (pemimpin kami), putra sayyidina, wahai orang yang terbaik di antara kami, putra orang terbaik di antara kami!”.

Rasalullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Wahai para manusia, bertakwalah kalian! Jangan biarkan setan menyesatkan kalian. Aku adalah Muhammad bin Abdullah; hamba Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, aku tidak suka kalian mengangkatku melebihi kedudukan yang telah Allah tentukan untukku”. (HR. Ahmad (20/23 no. 12551) dan dinilai shahih oleh adh-Dhiya’ al-Maqdisy (5/25 no. 1627) dan Ibn Hibb in (14/133 no. 6240).

Dengan keterangan di atas, insyaA11ah telah terlihat jelas, mana bentuk pengagungan yang terpuji dan mana bentuk pengagungan yang tercela.

Penulis tutup makalah ini dengan nasehat yang disampaikan Ibn Hajar al-Haitamy rahimahullah (909-974 H), manakala beliau menjelaskan bahwa pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya dengan sesuatu yang ada dalilnya dan yang diperbolehkan, jangan sampai melampaui batas tersebut.

Beliau berkata, “Wajib bagi setiap orang untuk tidak mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan sesuatu yang Allah izinkan bagi umatnya, yaitu sesuatu yang layak untuk jenis manusia. Sesungguhnya melampaui batas tersebut akan menjerumuskan kepada kekafiran, na’udzubillahi min dzalik. Bahkan melampaui batas sesuatu yang telah disyariatkan, pada asalnya akan mengakibatkan penyimpangan. Maka hendaknya kita mencukupkan diri dengan sesuatu yang ada dalilnya.[22]

Beliau rahimahullah menambahkan, “Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi :

Pertama, kewajiban untuk mengagungkan Nabi dan mengangkat derajatnya di atas seluruh makhluk.

Kedua, mentauhidkan Allah dan meyakini bahwa Allah Maha Esa dalam dzat dan perbuatan-Nya atas seluruh makhluk-Nya. Barang siapa meyakini bahwa sesosok makhluk menyertai Allah dalam hal tersebut; maka ia telah berbuat syirik. Dan barang siapa merendahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah derajat (yang seharus)nya maka ia telah berbuat maksiat atau kafir.

Namun barang siapa yang mengagungkan beliau dengan berbagai jenis pengagungan dan tidak sampai menyamai sesuatu yang merupakan kekhususan Allah,.maka ia telah menggapai kebenaran, dan berhasil menjaga dimensi ketuhanan serta kerasulan. Inilah ideologi yang tidak mengandung unsur ekstrim atau sebaliknya.[23] Wallahu a’lam.
_________________________________________

Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 06/ Dzulqa’dah 1431 H Oktober 2010 M
Artikel: ibnuabbaskendari.wordpress.com

Catatan Kaki:

[1] Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, 6/457
[2] Judul buku-buku lainnya bisa dilihat, antara lain di mukadimah Syaikh Masyhur bin Hasan Salman hafizhahullah dalam tahqiq jula’ul Afham hlm. 8-29.
[3] Tafsir ar-Rdzy (20/180). Setelah menyebutkan dua syarat di atas, ar-Razy rahimahullah menyebutkan syarat ketiga, yaitu iman. Sebab iman merupakan syarat utama agar amalan membuahkan pahala. Selain Mukmin tidak akan diterima amalannya, baik dia ikhlas maupun tidak, entah sesuai syariat maupun tidak. Karena ia belum mau memeluk agama, yang segala amalan tidak akan diterima melainkan dari pemeluk agama tersebut. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Barangsiapa mencari agama selain Islam; maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran/3:85). Karena begitu gamblangnya permasalahan ini, banyak di antara para ulama yang tidak menyebutkan syarat iman ini, sebab hal itu sudah sangat jelas dan tidak Samar.
[4] Tafsir Ibn Katsir (1/385).
[5] Dalam kitabnya Jala’ul Afham (hlm. 380-520), Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan ada empat puluh satu momen disyariatkannya membaca shalawat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[6] Lihat : Atsar ash-shalawat al-Wdhidiyyah fi AkhlaqThullabMa’had at-Tahdib Ngoro Jombang ‘Am: 2004, skripsi Institut Studi Islam Darussalam Gontor, yang disusun oleh Ahmad Luthfi Ridha (hlm. a).
[7] Tuntunan Ziarah Wali Songo karya Abdul Muhaimin (hlm. 144).
[8] Rahasia Keutamaan dan Keistimewaan Sholawat karya Nur Muham­mad Khadafi, dinukil dari Atsdr ash-Shalawat al-Wdhidiyyah hlm. 21
[9] www.indospritual.com
[10] Lihat, al-Fishal fi Al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal (2/221).
[11] Lihat, Majmu’ al-Fatawal (1/9).
[12] Diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dalam mukadimah Shahihnya (1/15).
[13] Lihat Tafsir ibn Katsir (6/203)
[14] Lihat, al-Minhdjfl Syu’ab al-Iman karya al-Halimy (11/124) dan al-jfimi’li Syu’ab al-Imdn karya al-Baihaqy (111/95).
[15] Lihat, al-Minhaj fi Syu’ab al-Iman (II/124).
[16] Lihat, Ibid (11/125).
[17] Diringkas dari Huqaqun Nabi shallallahu’alaihiwasallam ‘aid Uin-matihfl Dhau’i al-Kitfib wa as-Sunnah, karya Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimy (11/466-478).
[18] Di awal tulisan ini, kami telah bawakan beberapa dalil dari al-Qur’an dan Sunnah tentang disyariatkannya membaca shalawat.
[19] Lihat, al-Minhdjfl Syu’ab al-Imfin (2/134).
[20] An-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin karya KH. Muhammad Hasyim Asyari (hlm. 5-6).
[21] Lihat: Ar-Radd ‘ald al-Akhnd’iy karya Syaikhul Islam Ibn Taimi­yyah rahimahullah (hlm. 18) clan al-UsHl ats-Tsaldtsah wa Adillatuhd Karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah (hlm. 23).
[22] A1-Jauhar al-Munazham fi Ziarah Qabr an-Nabi shallallahu’alaihiwasallam wa Karram (hlm. 64) dinukil dari Ara’ Ibn Hajar al-Haitami al-Ftiqadiyyah ‘Ardh wa TaqwFm ft Dhau’I ‘Aqfdah as-Salaf karya Muhammad bin Abdul Aziz asy-Syayi rahimahullah (hlm. 450).
[23] A1-jauhar al-Miinazham (hlm. 13) dinukil dari Ara’ Ibn Hajar al-Haitami al-Ftiqfidiyyah.

Sumber :

http://abangdani.wordpress.com/2010/11/22/shalawat-nariyah-dalam-timbangan/
resent by Anwar Baru Belajar