Senin, 19 Juli 2021

 𝗜𝗕𝗡𝗨 𝗧𝗔𝗜𝗠𝗜𝗬𝗔𝗛 𝗧𝗜𝗗𝗔𝗞 𝗠𝗘𝗠𝗨𝗦𝗨𝗛𝗜 𝗧𝗔𝗦𝗔𝗪𝗨𝗙

Ada tuduhan bahwa Ibnu Taimiyah sangat membenci dan memusuhi Tasawuf. Benarkah demikian?
Katanya Ibnu Taimiyah memusuhi Tasawuf....
Ini semacam opini umum yang berkembang di kalangan para pengkaji Tasawuf, dulu dan sekarang. Opini ini sesungguhnya tidak dibangun di atas pijakan yang benar. Ini sepenuhnya hanya didasarkan pada kesimpulan yang salah. Siapa pun yang mendalami karya-karya Ibnu Taimiyah akan mendapati bahwa ia berulang kali memuji para syekh sufi besar yang konsisten dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Tidak hanya itu, ia bahkan menjadikan perkataan-perkataan mereka sebagai penguat prinsip-prinsip yang diyakininya.
Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah juga telah menulis karya-karya yang secara khusus menjelaskan dan menjabarkan jalan Tasawuf yang ia yakini kebenarannya. Dan itu –seperti telah dijelaskan- dilakukan dengan mengutip pandangan dan perkataan para tokoh sufi generasi awal yang berpegang pada cahaya al-Qur’an, al-Sunnah dan pandangan kaum salaf.
Diantara karyanya itu –misalnya- adalah:
▪️Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah fi al-A’mal al-Qalbiyyah. Buku ini, seperti yang dikatakannya,
“(Berisi) kalimat-kalimat ringkas tentang amalan-amalan hati yang disebut dengan ‘maqamat’ dan ‘ahwal’, yang juga merupakan bagian dari dasar-dasar keimanan dan kaidah-kaidah agama; seperti ‘mahabbah’ pada Allah dan Rasul-Nya, Tawakkal, mengikhlaskan agama pada-Nya, syukur, sabar terhadap hukum-Nya, ‘khauf’ dan ‘raja’ pada-Nya, serta hal-hal lain yang mengikutinya.”
Dalam teks tersebut dengan sangat jelas terlihat bahwa Ibnu Taimiyah menggunakan dua istilah yang umum digunakan di kalangan sufi; maqamat dan ahwal. Dan dalam buku ini secara khusus, ia menguraikan secara panjang lebar dan terperinci tentang berbagai maqam dan hal tersebut.
Hal lain yang juga patut dicatat adalah interaksinya dengan para sufi yang hidup di zamannya. Ternyata ia juga menyempatkan waktu untuk hadir dalam majlis mereka,
“Sewaktu aku masih muda, aku pernah hadir bersama sekelompok ahli zuhud dan ibadah, dan mereka adalah orang-orang terbaik di zamannya.”
Untuk memastikan permusuhan Ibnu Taimiyah terhadap Tasawuf secara mutlak menuntut kita untuk menelaah ide-idenya yang tertuang dalam berbagai karyanya. Untuk mengatakan bahwa ia mendukung semua jenis Tasawuf tentu juga tidaklah tepat. Sebagaimana menyatakan bahwa ia menolak dan memusuhi semua jenis Tasawuf juga tidaklah benar. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah mendukung dan menjalani apa yang disebutnya sebagai Tasawuf Masyru’ (Tasawuf yang disyariatkan). Tasawuf yang mengambil ajaran-ajarannya dari sumber terbersih yang diwariskan oleh Rasulullah. Kritik-kritik tajam yang ia lontarkan terhadap ‘ide-ide asing dari Islam’ tidak lebih merupakan upaya kerasnya untuk menjaga kemurnian Tasawuf, agar para sufi dapat menempuh perjalanan mereka menuju Allah dengan tetap berpegang pada Syariat-Nya dan menjaga batasan-batasan-Nya. Apakah Ibnu Taimiyah memusuhi jenis Tasawuf ini? Ia justru menghabiskan hidupnya untuk memperjuangkannya.
Adapun Tasawuf yang lebih banyak melandaskan ajaran-ajarannya dengan ide-ide asing yang berasal dari luar Islam, seperti Tasawuf Bathiniyah yang banyak dipengaruhi ideologi-ideologi pra Islam, maka Ibnu Taimiyah bukanlah orang pertama yang melontarkan kritikannya. Para pemuka sufi seperti al-Junaid (w. 297 H), al-Hasan al-Bashry, al-Harits al-Muhasiby (w. 243 H), dan yang lainnya juga telah mendahului Ibnu Taimiyah dalam hal itu.
▪️Di antara ilmuwan yang mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah memusuhi tasawuf adalah Louis Massignon dalam "Da'irah Al Ma'arif Al Islamiyyah, tema "Tasawuf" jilid 5 hlm. 274. Massignon menyebutkan Ibnul Jauzi dan Ibnu Taimiyah sebagai orang yang menolak keras ajaran tasawuf.
𝗣𝗘𝗠𝗕𝗔𝗚𝗜𝗔𝗡 𝗦𝗨𝗙𝗜 𝗠𝗘𝗡𝗨𝗥𝗨𝗧 𝗜𝗕𝗡𝗨 𝗧𝗔𝗜𝗠𝗜𝗬𝗔𝗛
Menurut Ibnu Taimiyah, para sufi itu dapat dibagi menjadi 3 golongan:
1. Sufi yang hakiki (shufiyyah al-haqa’iq)
2. Sufi yang hanya mengharapkan rezki (shufiyyah al-arzaq)
3. Sufi yang hanya mementingkan penampilan (shufiyyah al-rasm)
Sufi yang hakiki menurutnya adalah mereka yang berkonsentrasi untuk ibadah menjalani kezuhudan di dunia. Mereka adalah orang-orang yang memandang bahwa seorang sufi adalah “orang yang bersih (hatinya) dari kotoran, dipenuhi dengan tafakur, dan yang menjadi sama baginya nilai emas dan batu.”
Kelompok inilah yang diakui dan dijalani oleh Ibnu Taimiyah. Ia mengatakan tentang kelompok ini,
“Kelompok ini sebenarnya adalah salah satu bagian dari golongan ‘Shiddiqun’. Ia adalah ‘shiddiq’ yang memberikan perhatian khusus terhadap kezuhudan dan ibadah secara sungguh-sungguh. Maka seorang ‘shiddiq’ juga ada yang menjadi penempuh jalan ini, sebagaimana juga ada ‘shiddiq’ dari kalangan ulama dan umara’. Jenis (manusia) ‘shiddiq’ ini lebih khusus dari (manusia) ‘shiddiq’ secara mutlak, namun tetap berada di bawah para (manusia) ‘shiddiq’ yang sempurna ke’shiddiq’annya, dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in.
Maka jika para ahli zuhud dan ibadah dari Bashrah itu disebut sebagai para ‘shiddiqun’, maka para imam dan fuqaha’ dari Kufah pun disebut sebagai para ‘shiddiqun’. Setiap mereka (menjadi ‘shiddiqun’) sesuai dengan jalan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya yang mereka tempuh dengan kemampuan mereka. Sehingga (dapat disimpulkan) bahwa mereka –para sufi- adalah manusia ‘shiddiq’ paling sempurna di zamannya, meski para ‘shiddiqun’ generasi awal lebih sempurna dari mereka.”
Menurut Ibnu Taimiyah, seorang sufi yang hakiki haruslah memenuhi 3 syarat berikut:
1. Ia harus mampu melakukan “keseimbangan syar’i”. Yaitu dengan menunaikan yang fardhu dan meninggalkan yang diharamkan. Dengan kata lain, seorang sufi yang hakiki harus komitmen dengan jalan taqwa.
2. Ia harus menjalani adab-adab penempuh jalan ini. Yaitu mengamalkan adab-adab syar’i dan meninggalkan adab-adab yang bid’ah. Atau dengan kata lain, mengikuti adab-adab al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.
3. Bersikap zuhud terhadap dunia dengan meninggalkan hal-hal yang tidak ia butuhkan dan menyebabkannya hidup berlebihan.
Adapun shufiyyah al-arzaq (yang hanya mengharapkan rezki) adalah mereka yang bergantung pada harta-harta wakaf yang diberikan kepada mereka.
Sedangkan shufiyyah al-rasm adalah sekumpulan orang yang merasa cukup dengan menisbatkan diri kepada sufi. Bagi mereka yang penting adalah penampilan dan perilaku lahiriah saja, tidak hakikatnya. Menurut Ibnu Taimiyah, mereka ini sama dengan orang yang merasa cukup berpenampilan seperti ulama –hingga menyebabkan orang bodoh menyangka mereka benar-benar ulama, padahal sebenarnya bukan.
Diantara sebagian kitab Ibnu Taimiyah yang berkaitan dengan tasawuf ( Tazkiyah an Nufus ) adalah, Al Furqon baina Auliya Ar Rahman wa Auliya Asy Syaitan, At Tuhfah Al Iraqiyyah fi A'mal Al Qulub, Al Ubudiyah, Darajat Al Yaqin, Ar Risalah At Tadmuriyyah, Bugyah Al Murtab, Ibthal Wahdat Al Wujud, At Tawassul wa Wasilah, Risalah fi As Sama' wa Ar Raqsh, Al ibadat Asy Syariyyah, dalam disiplin Mantiq dan filsafat, Ar Radd 'ala Al Manthiqiyyah, Naqdh Al Mantiq, Ash Shafadiyyah, Ar Risalah Al 'Arsyiyyah.
▪️Catatan.
Hanya saja "Tasawuf Masyru" (tasawuf yang sesuai syar'i at) seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah hampir tidak dapat ditemui lagi di jaman ini. Hampir semua ajaran tasawuf sudah tercemar dengan praktek bid'ah. Maka sah-sah saja jika ada sebagian ulama melarang untuk mempelajari ilmu tasawuf sekarang ini demi menghindari kesalahan-kesalahan yang tidak sesuai syariat.
Wallahu a'lam.
_______________
Minggu, 18 Juli 2021. Anwar Baru Belajar. Disadur dari kitab التصوف بين الغزالي وابن تيمية
Keterangan foto tidak tersedia.
1 Kali dibagikan
Suka
Komentari
Bagikan

Selasa, 13 Agustus 2013

MAJLIS TARJIH MUHAMMADIYAH MEMUTUSKAN BAHWA RU’YAHLAH YANG MU’TABAR



MASALAH HISAB DAN RU’YAH

مسألة الحساب والرؤية


الصوم والفطر بالرؤية ولاما نع با لحساب لحديث : صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ (رواه البخارى). و قوله تعالى : هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ .(يونس : ه)


اذااثبت الحاسب عدم وجود الهلا ل او وجوده مع عدم امكان الرؤية , ورأى المرء اياه في الليلة نفسها فأيهما المعتبر؟ قرر مجلس الترجيح ان المعتبر هو الرؤية.

 لما روي عن ابي هريرة  رض قال : صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا (رواه البخارى ومسلم).

Berpuasa dan Id Fitrah itu dengan ru’yah  dan tidak berhalangan dengan hisab. Menilik hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Berpuasalah karena melihat tanggal dan berbukalah karena melihatnya. Maka bilamana tidak terlihat olehmu, maka sempurnakan bilangan bulan sya’ban tiga puluh hari.“ Dan firman Allah Ta’ala : “Dialah yang membuat matahari bersinar dan bulan bercahaya serta menentukan  gugus manazil-manazilnya agar kamu sekalian mengerti bilangan tahun dan hisab.” (Al -Qur’an surat Yunus ayat 5).

Apabila Ahli Hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu juga; manakah yang mu’tabar.

Majlis Tarjih memutuskan bahwa ru’yahlah yang mu’tabar.

Menilik hadits dari Abu Hurairah r.a. yang berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Berpuasalah karena kamu melihat tanggal dan berbukalah (berlebaranlah) karena kamu melihat tanggal. Bila kamu tertutup oleh mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan sya’ban 30 hari.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
--------------------------------------------

Ditulis ulang oleh Anwar Baru Belajar

Sumber :
1. Buku Himpunan Putusan Majlis Tarjih diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Cetakan ke III. hal. 291-292, Kitab Beberapa Masalah.11. Masalah Hisab dan Ru'yah.
2. Silahkan juga baca  : SAYA KEMBALI KE RU'YAH oleh BUYA HAMKA