Senin, 07 Maret 2011

Hukum Tahlilan [Selamatan Kematian] Menurut Majalah Al Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, 1933

Al Mawa'idz merupakan sebuah nama bagi majalah yang dikelola oleh organisasi Nahdatul Ulama Tasikmalaya, terbit sekitar pada tahun 30-an. Di dalam majalah ini, pihak NU (yang biasa dikenal sebagai pendukung acara prevalensi perjamuan tahlilan) menyatakan sikap yang sebenarnya terhadap kedudukan hukum prevalensi tersebut. Berikut kutipannya :

Tjindekna ngadamel rioengan di noe kapapatenan teh, ngalanggar tiloe perkara :

1. Ngabeuratkeun ka ahli majit; enja ari teu menta tea mah, orokaja da ari geus djadi adat mah sok era oepama henteu teh . Geura oepama henteu sarerea mah ?

2. Ngariweuhkeun ka ahli majit; keur mah loba kasoesah koe katinggal maot oge, hajoh ditambahan.

3. Njoelajaan Hadits, koe hadits mah ahli majit noe koedoe di bere koe oerang, ieu mah hajoh oerang noe dibere koe ahli majit.

Kesimpulannya mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayat yang sedang berduka cita, berarti telah melanggar tiga hal :

1. Membebani keluarga mayat, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayat akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan. Tetapi coba kalau semua orang tidak melakukan hal serupa itu ?

2. Merepotkan keluarga mayat, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.

3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits justru kita tetangga yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayat yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya.

Kemudian ditempat lain :

Tah koe katerangan Sajjid Bakri dina ieu kitab I'anah geuning geus ittifaq oelama-oelama madhab noe 4 kana paadatan ittiehadz tho'am (ngayakeun kadaharan) ti ahli majit noe diseboetkeun njoesoer tanah, tiloena, toejoehna dj.s.t. njeboetkeun bid'ah moenkaroh.


Nah, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab I'anah tersebut, ternyata para ulama dari 4 mazhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah Nyusur Tanah, tiluna (hari ketiganya), tujuhnya (hari ketujuhnya), dst, merupakan perbuatan bid'ah yang tidak disukai agama.

Selanjutnya :

Koeninga koe ieu toekilan-toekilan noe ngahoekoeman bid'ah moenkaroh, karohah haram teh geuning oelama-oelama ahli soennah wal Djama'ah, lain bae Attobib, Al Moemin, Al Mawa'idz. Doeka anoe ngahoekoeman soennat naha ahli Soennah wal Djama'ah atawa sanes ?


Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahui bahwa sebenarnya yang menghukumi bid'ah mungkarah itu ternyata ulama-ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah, bukan hanya majalah Attobib, Al Moemin, Al Mawa'idz. Tidak tahu siapa yang menghukumi sunnat, apakah Ahlu Sunnah wal Jama'ah atau bukan ?

Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa warga Nu pada waktu itu sepakat pandangannya terhadap hukum prevalensi perjamuan tahlilan, yaitu bid'ah yang dimakruhkan dengan makruh tahrim, (menjadi haram karena sebab lain) apabila biaya penyelenggaraan acara tersebut berasal dari tirkah mayit (peninggalan mayit) yang di dalamnya terdapat ahli waris yang belum baligh atau mahjur 'alaihi ( di bawah pengampuan/curatel).

Demikian isi majalah tersebut. [Al Mawa'dz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya (Tasikmalaya: Nahdlatoel Oelama, 1933)]



Resent by Anwar Baru Belajar

Disalin ulang dari buku Santri NU menggugat Tahlilan, Harry Yuniardi, Penerbit Mujahid.